Perihal Rindu yang Kukirimkan Kemarin Itu
Setiba di rumahmu, kutelan semangkuk rindu yang kau biarkan dingin di dapurmu. Secuil perih menggigit, seperti taburan garam di atas luka sayatan silet. Selebihnya hambar, seperti bubur tepung kanji yang kerap disajikan ibu untuk sakit perutku. Ada lekit yang tersisa, mengering dan merobek sudut bibir.
Rindu itu mengalir ke bawah dagu, tersendat mengundang ceguk. Dada terasa penuh seperti dada si rakus yang tak bisa berhenti makan. Butuh kesungguhan untuk sekedar menarik nafas. Sebah.
Aku ingin menangis. Rindu yang semangkuk ini terasa begitu menyedihkan. Mungkin sebab kau biarkan dingin di dapurmu. Mungkin sebab memang tak ada yang bisa kau lakukan dengan rindu ini, selain menyimpannya di dapurmu yang dingin.
Namun entah bagaimana, sesaat setelah aku menyebut namamu, ada hangat yang merebak di dalam sini. Seperti ketika kau menyesap teh manis panas yang dihidangkan kekasihmu, pagi tadi.
Air mata, jatuh mengalir, seperti aliran sungai di belakang saung Cijotang.
Oleh : Sei Handayani
Medan, 11 Maret 2016
Rindu itu mengalir ke bawah dagu, tersendat mengundang ceguk. Dada terasa penuh seperti dada si rakus yang tak bisa berhenti makan. Butuh kesungguhan untuk sekedar menarik nafas. Sebah.
Aku ingin menangis. Rindu yang semangkuk ini terasa begitu menyedihkan. Mungkin sebab kau biarkan dingin di dapurmu. Mungkin sebab memang tak ada yang bisa kau lakukan dengan rindu ini, selain menyimpannya di dapurmu yang dingin.
Namun entah bagaimana, sesaat setelah aku menyebut namamu, ada hangat yang merebak di dalam sini. Seperti ketika kau menyesap teh manis panas yang dihidangkan kekasihmu, pagi tadi.
Air mata, jatuh mengalir, seperti aliran sungai di belakang saung Cijotang.
Oleh : Sei Handayani
Medan, 11 Maret 2016
Posting Komentar untuk "Perihal Rindu yang Kukirimkan Kemarin Itu"