Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Agama Melawan Kemungkinan Kemiskinan Dengan Pemahaman

Setiap fenomena sosial yang terjadi di sebab atas dasar hukum sebab akibat demikian dengan proses globalisasi sekarang ini yang semakin memanjakan umat manusia secara sepihak, yang juga menyisakan derita tak kunjung berakhir bagi pihak lain. Paradoks kemakmuran kian kentara, kesenjangan ekonomi makin menganga.

Di satu sisi, kemakmuran dan kesejahteraan terlihat smakin jelas. Di sisi lain, di pelosok-pelosok desa, di bawah jembatan kota, di tepi-tepi sungai, dan di semua wilayah periferal itu, kita menyaksikan saudara kita yang tidak sempat mengenyam pendidikan, kesusahan memenuhi kebutuhan pangan, jauh dari akses kemakmuran, serta senantiasa tertindas oleh sistem ekonomi yang tidak humanis. Padahal, kemiskinan menyimpan bahaya laten yang sewaktu-waktu bisa muncul dalam ragam manifes aksi kriminal dan asosial.

Sejarah bangsa kita telah mengalami itu; pertikaian antarsuku yang dipicu urusan perut. Meningkatnya jumlah pengidap HIV/AIDS karena sempitnya peluang kerja yang akhirnya menyeret mereka ke jalam hitam, prostitusi dan narkoba, serta hilangnya generasi 'the lost generation' akibat perdagangan atau terlantarnya anak-nak dari sektor pendidikan. Kemiskinan adalah musuh setiap bangsa, musuh kemanusian, dan karenanya kemiskinan adalah musuh setiap agama. Sebab pada dasarnya setiap agama senantiasa menjanjikan kebaikan hidup dengan menonjolkan sisi humanitas.

Secara struktural, kemiskinan lebih disebabkan oleh ketidakadilan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Di balik kemiskinan tersimpan sistem-sistem hegemonik yang secara sadar mengabadikan kemiskinan itu sendiri. Ironisnya, kenyataan ni tidak disadari oleh kaum miskin itu sendiri. Singkatnya, kemiskinan merupakan resultan dari rajutan sistem-sistem di atas yang hegemonik dan tidak humanis.

Kapitalisme global memang bisa disebut sebagai faktor utama penyebab kemiskinan. Namun di balik itu, terdapat pandangan dunia (worldview) dan pola pikir (mind set) msyarakat yang keliru, yang dipengaruhi oleh sistem etika agama dan budaya.

Fasisme adalah wajah yang paling representatif dalam menggambarkan kaum miskin. Mereka menilai bahwa kemiskinan merupakan kehendak Tuhan, dan oleh karena itu harus diterima dengan lapang dada. Ajaran agama yang mereka terima, bukan sebagai ajaran iluminatif yang seharusnya mencerahkan. Malah, seringkali menjustifikasi kemiskinan mereka.

Namun, bila kita membaca skrip-skrip dan sejarah agama-agama, maka di sana kita mendapatkan sebuah variabel bahwa semua agama turun untuk melawan kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan, dan kebodohan. Para sosok nabi adalah pembela kaum yang lemah (mustadh'afun). Mereka menyerukan keadilan memberangus ketimpangan, mengembangkan layar persaudaran universal, mempersempit rung gerak individualisme.

Setiap nabi yang diutus Tuhan ke bumi, ke semuanya mengemban misi sama, yakni melakukan perombakan struktur sosial yang timpang dan pembelaan pada kaum mustadh'afin, proletar, atau kelompok lemah yang tertindas.

Setiap nabi dan rasul adalah seorang revolusioner, baik teori maupun tindakannya (Ziaul Haque, 1999). Demikian halnya, ketika Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah ke Madinah, merupakan tindakan revolusioner, menyusun strategi untuk memperoleh kejayaan. Kejayaan umat manusia dari keserakahan dan kesewenang-wenangan kaum kapitalis yang sombong.

Dengan demikian, melakukan pembelaan terhadap mustadh'afin bukan berarti murni gerakan perlawanan atau pemberontakan. Oleh karena itu, yang menjadi agenda manusia saat ini adalah melakukan rekonstruksi (bahkan dekonstruksi) terhadap makna kesalehan dalam ibadah dan kebajikan dalam tindakan.

Salam kopi hitam


Penulis: Awin Buton

Posting Komentar untuk " Agama Melawan Kemungkinan Kemiskinan Dengan Pemahaman"