Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kehidupan Seorang Anak Desa Bernama Nai di Timur Indonesia

Sore Cerah dan Ceria di 1990

Sore itu, suara agak berisik terdengar dari celah jendela kamar sebuah rumah sederhana, suara teriakan wanita lebih nampak dari orang-orang yang sedang berisik. Sore yang cerah dengan senyum ceria tercurahkan pada sesosok bayi laki-laki yang baru lahir, sebagai bentuk nyata kehadiran sosok manusia dalam menghirup udara secara langsung di dunia.

Sanana, nama kecamatan yang mungkin asing di indra pendengaran. Daerah di bagian Timur Indonesia menyaksikan kelahiran “Nai”, sebuah nama yang terangkai dengan tiga huruf, nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya Mira sang mama dan Mail sang papa. Nai adalah nama potong pusar (berdasarkan adat istiadat setempat). Budaya atau kebiasaan masyarakat setempat yaitu memberikan nama panggilan saat bayi baru lahir dan sering disebut nama potong pusar atau nama yang diberikan setelah tali pusar bayi tersebut dipotong oleh biang desa (bidan desa) atau bidan dari puskesmas.

Duk, duk, duk, suara lantai terdengar meriah dari luar kamar. “Horeee” teriakan serentak dari Nur, Ida dan Ria. Ungkapan bahagia karena telah memiliki seorang adik laki-laki yang mereka dambakan. Datang dari tempat bermain mereka di seberang jalan desa saat diberitahukan Siti, adik Mira atau bibi mereka.

Si sulung Nur langsung bergegas mencium Nai yang baru saja selesai dimandikan oleh mama Jia, biang desa yang membantu proses persalinan Mira. Boleh aku menggendongnya seru Nur, nanti dulu kalau Nai sudah berumur sepekan, kata mama Jia dengan dibumbui senyum bahagia atas antusias Nur. Ida dan Ria juga tak mau kalah dengan si kakak, bergegas cepat mencium si Nai yang masih diam dan tidur.

Sudah, sudah, kalin keluar dulu Nainya mau dipeluk dulu sama mama, arahan mama Jia kepada Nur, Ida dan Ria. Ayo Ida, Ria kita keluar, ajakan Nur merangkul tangan kedua adiknya sambil melepas tawa ke mama Jia dan si Nai yang mungkin belum bisa merespon tawa itu, si Nai yang belum bisa merasakan kebahagiaan kakak-kakaknya, kedua orang tuannya dan mama Jia. Si Nai pun masih diam dan sesekali menggerakan tangannya yang masih belum menyadari gerak tersebut.

Mail dan mama Jia pun bergegas keluar membiarkan Mira dan Nai istirahat, Nai terlihat nyaman dalam pelukan ibunya. Merasa nyaman dalam naluri cinta sang Ibu. Terbesit doa dalam hati dan ucapan Mira, semoga kelak engkau menjadi manusia yang bisa memanusiakan orang lain.

Sebuah Kecamatan di Timur Indonesia, Sanana juga hadir dengan budaya dan ciri khas bahasa daerah yang kemudian memberikan makna-makna kata sebagai identitasnya suatu daerah.

Kota Sanana secara administrasi berada di Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara. Suku Sula adalah suku dari turun-temurun yang berdomisili di Kepulauan Sula, terlihat jelas dari nama Kabupatennya.

Seperti halnya jika pada kultur suku Bugis, memanggil sebutan anak laki-laki dengan nama Aco. Nai adalah sebutan atau panggilan anak laki-laki di Sanana. Namun, panggilan Nai ini biasanya diberikan kepada anak laki-laki yang sangat disayangi atau bisa juga dikatakan panggilan sayang buat anak laki-laki oleh orang tua dan keluarga besar mereka.

Kadang juga panggilan Nai digunakan saat kita bertemu dengan seorang anak laki-laki yang usianya lebih muda dan belum diketahui namanya, maka panggilan Nai biasanya dipakai untuk memanggil anak tersebut. Sehingga nampak sebuah makna ikatan hiasan kasih sayang saat bertutur kata walaupun secara emosional belum akrab.

Mail dan Mira orang tua dari Nai, memberikan nama tersebut kepada putra mereka saat si Nai baru lahir atau disebut nama potong pusar, mereka berdua akan memikirkan untuk memberikan nama yang akan digunakan pada akta kelahiran sampai pada semua hal administrasi setelah si Nai besar nanti.

Nai sebuah nama yang menjadi ciri khas Kota Sanana atau suku Sula. Nilai identitas yang begitu besar, dimanapun orang Sula berada. Apalagi jika berada di negeri seberang, nama ini akan menjadi pengenal, pengikat dan pengingat kalau kita berasal Sula. Dengan mendengar nama ini di tanah rantau pasti semua orang Sula akan mencari tahu siapa gerangan orang itu hingga mengenal sosok yang dipanggil Nai tersebut dalam bingkai persaudaraan.

Makna Nama NAI

Sebuah Kecamatan di Timur Indonesia, Sanana juga hadir dengan budaya dan ciri khas bahasa daerah yang kemudian memberikan makna-makna kata sebagai identitasnya suatu daerah.

Kota Sanana secara administrasi berada di Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara. Suku Sula adalah suku dari turun-temurun yang berdomisili di Kepulauan Sula, terlihat jelas dari nama Kabupatennya.

Seperti halnya jika pada kultur suku Bugis, memanggil sebutan anak laki-laki dengan nama Aco. Nai adalah sebutan atau panggilan anak laki-laki di Sanana. Namun, panggilan Nai ini biasanya diberikan kepada anak laki-laki yang sangat disayangi atau bisa juga dikatakan panggilan sayang buat anak laki-laki oleh orang tua dan keluarga besar mereka.

Kadang juga panggilan Nai digunakan saat kita bertemu dengan seorang anak laki-laki yang usianya lebih muda dan belum diketahui namanya, maka panggilan Nai biasanya dipakai untuk memanggil anak tersebut. Sehingga nampak sebuah makna ikatan hiasan kasih sayang saat bertutur kata walaupun secara emosional belum akrab.

Mail dan Mira orang tua dari Nai, memberikan nama tersebut kepada putra mereka saat si Nai baru lahir atau disebut nama potong pusar, mereka berdua akan memikirkan untuk memberikan nama yang akan digunakan pada akta kelahiran sampai pada semua hal administrasi setelah si Nai besar nanti.

Nai sebuah nama yang menjadi ciri khas Kota Sanana atau suku Sula. Nilai identitas yang begitu besar, dimanapun orang Sula berada. Apalagi jika berada di negeri seberang, nama ini akan menjadi pengenal, pengikat dan pengingat kalau kita berasal Sula. Dengan mendengar nama ini di tanah rantau pasti semua orang Sula akan mencari tahu siapa gerangan orang itu hingga mengenal sosok yang dipanggil Nai tersebut dalam bingkai persaudaraan.

Maraju Seharian

Pagi itu, aktivitas di rumah begitu ramai, seperti biasanya kesibukan rutin petani di desa yang berkumpul di rumah Mail saat akan menjual hasil kebun berupa kelapa yang sudah dikeringkan (kopra) dan biji tanaman cokelat yang telah dikeringkan dan siap dimasukan ke dalam karung.

Nai yang saat itu telah berumur 3 tahun, sibuk di sekitar rumah dengan mainan mobil-mobilan yang terbuat dari kayu.

“Papa lagi apa ? “ tanya si Nai kepada Mail yang lagi sibuk menjahit mulut karung (bagian atas karung) dengan tali plastik.

“ Lagi jahit karung nak” jawab Mail serta melirik Nai yang lagi berlari

“ Papa mau pergi ke kota ya ?” Nai kembali bertanya

“Iya... nak, papa mau ke kota” Mail pun senyum melihat Nai yang begitu besar keingintahuannya.

Nai yang pada saat itu begitu dimanja oleh kedua orang tuanya Mira dan Mail. Selalu memberikan apa yang diinginkan oleh Nai, rasa manja pun semakin bersemayam pada karakter Nai pada saat itu.

Sebuah kewajaran dalam kehidupan, jika kemudian Nai dimanja, sebagai anak laki-laki yang sangat diinginkan oleh kedua orang tuanya, si bungsu ini pun mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan ketiga kakak perempuannya Nur, Ida dan Ria. Namun, mereka bertiga pun memaklumi sikap kedua orang tua mereka meskipun kadang-kadang rasa cemburu itu ada.

“Nai ikut ke kota ya papa ?” permintaan manja dari Nai

“Jangan dulu ya nak, cuacanya lagi kurang baik” Mail menjawab dengan senyum, sambil melihat ke arah langit yang mulai gelap.

“ Mama... Nai ikut ya” sahut Nai kepada Mira

“Jangan ya... nanti aja kalau lain kali jika cuacanya baik” Mira langsung memeluk Nai

Saking manjanya, Nai pun langsung menangis memeluk kencang ibunya

“ikut...ikut...ikut” teriakan Nai sambil berontak di pelukan ibunya

“Ayo jalan...” seruan Mail kepada semua warga desa yang berada di ruma pagi itu. Mail pun langsung bergegas sebab Nai akan semakin menangis jika dia terus berada di rumah.

Jadi langkah terbaik yaitu langsung bergegas membawa muatan mereka ke mobil muatan yang telah terparkir sejak tadi pagi di depan rumah. Warga desa yang tadinya berkemas hasil kebun di rumah Mail pun sudah bersiap untuk membawa bungkusan karung mereka masing-masing.

Melihat orang-orang semua telah pergi, Nai pun semakin merontak untuk turun dari dari gendongan ibunya dan berlari ke arah mobil.

“ ikut...ikut...ikut” teriakan Nai sambil menangis

Mira hanya ikuti Nai dan membujuknya

“ Ayo jalan aja pak sopir” Ucap Mail ke sopir

“Iya pak “ jawab sopir sambil menghidupkan mobil

Mobil telah pergi dan Nai masih menangis dan semakin menangis melihat mobil pergi.

Mira membujuk untuk masuk, namun agresifnya anak pada umur 3 tahun ini cukup besar sehingga membuat kewalahan ibunya. Ibunya hanya melihat Nai yang menangis sambil duduk di tanah desa yang belum diaspal itu. Mungkin Mira sengaja membiarkan dia menangis untuk melepaskan rasa kesalnya karena tidak diajak Mail sehingga Mira hanya melihat sambil sesekali memanggil namanya

“Nai...Nai..Nai... ayo masuk, jangan menagis lagi”

Nai tak menghiraukan dan terus menangis sambil menggosok-gosok kakinya ditanah.

Mira paham betul karakter Nai sebagai anak yang manja, jika semakin dibujuk dia akan semakin menangis, begitulah karakter orang manja pada umumnya. Maka Mira bergegas masuk ke dalam rumah sambil mengamatinya dari sudut jendela.

Melihat mamanya telah masuk, tak berapa lama kemudian Nai juga ikut masuk kerumah. Tapi kali ini tidak lagi menangis tapi hanya diam seribu bahasa.

“Ada-ada saja tingkah si Nai “ kata Mira sambil tersenyum melihat tingkah anak lelaki semata wayangnya ini.

“Makan dulu Nai” Mira memanggil Nai dengan memperlihatkan makanan yang akan diberikan.

Nai hanya diam dan tak menghiraukan ucapan ibunya ini. Ternyata dia mulai Maraju dan pergi menjauh dari Mira.

Mengetahui Nai lagi Maraju, Mira memberinya sepotong kue.

“ Sayang mau kue ngga ?” tanya Mira membujuk

Bahasa diam masih melekat diwajah Nai.

“Kue ini enak lho” kembali bujukan Mira, sambil memberikan kue ke Nai

Nai hanya berjalan menjauh dan terus menjauh. Mira membalikan badanya dan tersenyum melihat tingkah anaknya ini.

Akhirnya Nai hanya Maraju seharian, tapi tanpa diketahui Mira, Nai diam-diam mengambil yang diberikan tadi dan memakannya. Tapi yang masih anak-anak tak mengetahui kalau ternyata ibunya sengaja menaruh kue itu dan pergi karena begitulah tingkah anak manja, semakin dibujuk semakin Maraju.

Lihat juga :Tulisan Nama Keren di Topi Sebagai Identitas

Posting Komentar untuk "Kehidupan Seorang Anak Desa Bernama Nai di Timur Indonesia"