Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pia Non, Pia Non dan Kit Non, Kit Non

Pia non, pia non dan kit non, kit non merupakan sebuah bahasa daerah orang Sula yang juga menjadi salah satu filosofi hidup para sesepuh terdahulu. Sula menjadi tanah tempat dimana suara tangisan perdana saya terdengar hingga melihat dan mendengar dengan baik tentang kata-kata Pia non, pia non dan kit non, kit non yang diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Milik orang lain tetaplah milik orang lain dan milik kita tetaplah milik kita, itulah terjemahan dari kata-kata indah ini yang berarti kita dapat memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain atau sebaliknya melalui etika dengan rasa hormat.

Hidup di negeri orang sebagai perantau yang bergelut bersama beragam dunia kehidupan membuat kata ini kadang terlupakan. Namun, sering hadir seketika disaat jiwa ini berhenti sejenak dari kesibukan dunia. Mungkin karena kalimat ini telah ditanamkan saat anak-anak hingga telah mengakar dalam otak dan berbuah sebagai pikiran yang selalu hadir pada saatnya.

Cerminan keidupan yang indah dengan berlandaskan rasa kekeluargaan walau tak sedarah. Tindakan gotong-gotong royong yang menjadi pemandangan indah kehidupan sosial saat masa anak-anak hingga remaja sembari dihiasa tawa dan canda para orang-orang saat itu, sebuah pengalaman yang mengajarkan arti kehidupan sesungguhnya. Kenangan yang selalu mengajak lewat kerinduan untuk segera kembali ke kampung halaman, kenangan yang selalu melindungi hati ini dari sifat tamak walau tetap ada sebagai manusia biasa. Kenangan yang selalu jadi pembatas antara sudut karakter baik dan buruk, kenangan yang selalu menjadi pengingat disaat kita lupa akan sosok kebaikan.

Kini, bahasa itu mulai hanyut dengan masa lalu, kecantikan filosofi hidup itu mulai terkikis dengan peradaban modern, generasi tua mulai berkurang, generasi muda semakin berkembang dan kalimat pia non, pia non dan kit non, kit non mulai jarang terdengar. Entahlah ? mungkin aku yang salah menilai atau mata ini yang hanya memandang dari seberang.

Teringat sebuah cerita, seorang anak yang berjalan bersama ayahnya menuju kebun mereka. Dengan jarak kebun yang cukup jauh maka melewati beberapa kebun milik orang lain. Saat melintasi kebun orang lain, terlihat tepat di bawah pohon mangga terdapat satu buah mangga yang telah matang. Mungkin jatuh akibat angin atau dibiarkan oleh sang tuan kebun. Anak itu seketika berlari untuk mengambil buah mangga tersebut, si ayah hanya meilhat sambil tersenyum dan berkata “ Jangan nak, buah mangga itu milik orang, bukan milik kita. Tunggu saja tuan kebunnya datang sehingga kita dapat meminta buah mangga itu dan semoga saja tuan kebun berbaik hati dan memberikan kepada kita”.

Filosofi hidup yang berlaku indah pada semua ranah kehidupan dan pegangan nilai yang selalu mendatangkan kebaikan. Sikap para leluhur yang bijak, santun dan beretika. Cita-cita para orang-orang terdahulu agar sikap ini selalu menjadi pegangan bagi anak dan cucu mereka tanpa menghiraukan perubahan zaman.

Sebuah pengingat yang menjadi alarm disaat susah dan senang, sebuah pengingat disaat kita mengemban amanat dan tanggungjawab orang banyak, sebuah pengingat saat kita merangkul hak-hak orang lain, sebuah pengingat disaat kita tertawa bersama kejayaan, sebuah pengingangat disaat kita lupa akan persaudaraan dan menjadi pengingat disaat kita didesak dengan beragam kesusahan.

“Pia non, pia non dan kit non, kit non”, banyak yang mengetahui, makin sedikit yang menyadari dan mulai jarang ditemukan. Semoga kita selalu mampu menjadi generasi penerus yang saling mengingatkan, saling menjaga kekeluargaan dan saling memberikan contoh yang baik lewat tindakan nyata melalui pesan-pesan orang-orang terdahulu.

Posting Komentar untuk "Pia Non, Pia Non dan Kit Non, Kit Non "