Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Korupsi dan Perjudian Demokrasi

Oleh : Rifaldi Rahalus

Hukum sebab akibat (kausalitas) memang tidak bisa dihindari oleh setiap orang. Konsekuensi atas setiap perbuatan atau tindakan seseorang atau sekelompok orang adalah sesuatu yang mutlak, terlepas apakah perbuatan atau tindakan itu baik ataukah buruk. Esensinya, tindakan yang baik akan berdampak positif dan sebaliknya tindakan yang tak bernilai kebaikan akan melahirkan hasil yang negatif.

Sepanjang sejarah kemanusiaan sampai hari ini, perlu diakui bahwa hanya sedikit orang yang jujur meskipun orang baik itu banyak, namun tidak kala banyak orang jahat dan ini berbanding lurus dengan ragamnya kejahatan yang berujung terjadinya eksploitasi dan intimidasi. Disini, korupsi menjadi salah satu dari sekian tindakan kejahatan karena korupsi sudah pasti akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Konstitusi kita menegaskan, “korupsi merupakan tindakan melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain, merugikan pihak lain baik pribadi maupun Negara, dan menyalahgunakan wewenang atau kesempatan atau sarana karena kedudukan atau jabatan”

Kita semua pasti tahu bahwa tindakan korupsi dalam potret sejarah hingga sekarang ini tentu jarang bahkan belum pernah melibatkan petani, buru atau nelayan atau umumnya masyarakat miskin dalam kasus tindak pidana korupsi. Apalagi objek untuk di korupsi adalah uang negara yang bernilai miliyaran bahkan triliunan rupiah. Fenomena demikian bisa di saksikan lewat pemberitaan media mainstrim sekarang yang seolah tidak lengkap tanpa ada informasi soal korupsi. Beberapa pecan belakangan ini menghangat di media tak lain mengenai praktek korupsi. Sebut saja kasus dugaan korupsi yang berhasil diungkapkan oleh KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT). Jika mau ditebak, tentu saja tidak akan meleset bahwa mereka yang terjaring operasi ini adalah pejabat Negara; anggota dewan, bupati/wali kota hingga gubernur.

Hebohnya OTT di media masa dua bulan terakhir ini, publik sampai dibuat kecewa atas penghianatan itu. Kita semua pastinya berharap kecurangan dan ketidakadilan itu secepatnya diatasi pihak berwajib hingga ke akar-akarnya. Meskipun sejujurnya, secara pribadi saya masih merasa sangsi akan hal itu, karena selama hukum yang dilegalkan merupakan hasil dari upaya manipulative dan culas, maka hasilnya pun menjadi hukum yang koruptif. Memang, hal ini disebabkan karena, disatu sisi kehadiran hukum di negeri ini masih belum optimal, faktanya adalah praktek korupsi terus tumbuh subur dan seolah tak bisa dibendung, atau kejahatan lainnya yang justru sudah berulang-ulang kali terjadi khususnya dilingkaran para pejabat Negara namun tetap saja belum teratasi secara sistematis dan maksimal. Disisi yang lainnya adalah karena penerapan system demokrasi kita bisa dibilang sangat tidak rasional dan cenderung berlebihan.

Mahalnya Demokrasi

Apakah mungkin praktek korupsi bisa dihilangkan sebagaimana kita harapkan bersama? Bagi saya, perilaku korupsi (Corrupt behavior) minimal bisa diminimalisir dengan cara bukan mengubah tetapi mengembalikan demokrasi kepada tujuan awalnya. Karena, mahalnya praktek demokrasi kita kini sangat mempengaruhi tumbuhnya korupsi dilingkaran pejabat negara. Saya bisa katakan bahwa demokrasi kita sangat tidak rasional dan berlebihan, karena kenapa, biaya kampaye yang begitu mahal membuat demokrasi kita menjadi tidak sehat dan karena demokrasi yang demikian itu maka lahirlah bibit-bibit korup.

Bayangkan saja, setiap kali pemilu, calon anggota dewan baik ditingkat satu maupun ditingkat dua harus mempersiapkan uang paling sedikit satu miliyar untuk caleg tingkat dua dan dua miliyar untuk caleg tingkat satu, demikian romor beredar. Dan saya sangat meyakini adanya fenomena demikian, karena itu menjadi standar bagi parpol. Alasannya sederhana, demi membiayai kampanye sampai pemilu terlaksana. Hal ini menunjukkan betapa demokrasi kita sudah berubah wajah menjadi system kapitalis karena sudah sangat jelas praktek demokrasi semacam itu bahkan tidak mempertimbangkan factor elektabilitas dan kapabilitas peserta pemilu.

Sementara itu, untuk pilkada: calon bupati atau wali kota minimal harus menyiapkan dana 10 triliyun dan calon gubernur paling tidak 15 hinga 20 triliyun kecuali pilkada DKI Jakarta berstandar 25 triliyun. Semua itu tak lain dan tak bukan karena kebutuhan kampanye serta kepentingan-kepentingan lain hingga pilkada terlaksan. Anehnya, “Perjudian demokrasi” dengan standar harga demi memperebutkan posisi dan kekuasaan itu seolah menjadi wajib dan terkesan biasa-biasa saja. Wajar saja, logika dan pemikiran politisi kita di negeri ini lebih ditonjolkan adalah bagaimana meraih kemenangan ketimbang bagaimana menjalankan komitmen setelah pemilu dimenangkan. Visi dan misi calon bahkan hanya sekadar bumbu sesaat bagi hambarnya kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin rumit. Padahal ide-ide brilian yang ditungkan dalam visi dan misi andaikan bisa diimplementasikan oleh setiap pemenang pemilu pastinya sudah lama negeri ini makmur. Dan tak perlu lagi ada daftar nama-nama daerah tertinggal, karena semua daerah sudah berada pada standar maksimum sebagai daerah yang terus berbenah dan bersaing.

Ketidakrasional demokrasi yang masih diberlakukan sekarang ini, dalam prakteknya dikemudian hari selalu saja berpotensi menimbulkan korupsi yang tidak disangka besarnya bahkan tak terkendali oleh KPK sekalipun, seperti yang telah terjadi dulu dan sekarang ini. Mahalnya demokrasi dapat di kalkulasikan secara matematis melalu besaran gaji anggota dewan dan bupati/wali kota atau gubernur. Untuk anggota DPR, perbulan hanya menerima gaji Rp 15 sampai Rp 16 juta, kalaupun lebih dari itu kemungkinan ada tambahan tunjangan namun jika tidak, pasti itu merupakan aliran dana siluman.

Dari Rp 15 hingga Rp 16 juta tadi, belum dipotong setoran wajib kader ke partai sebesar 25% ditambah lagi pembagian jata bulanan pada tim sukses dan mungkin saja konstituen di dapil masing-masing, sisanya kurang lebih Rp 10 juta atau mungkin kurang dari itu, tergantung berapa pembagian pada konstituen tadi. Dalam satu tahun berarti gaji anggota DPR hanya capai Rp 120 juta. Dengan demikian nominal gaji dewan per satu periode hanya capai Rp 600 juta. Itu artinya setiap anggota dewan masih belum balik modal kampanye alias minus Rp 400 juta dari modal untuk mencalonkan diri senilai Rp 1 milyar. Tentu akan timbul pertanyaan, meskipun kerugian yang didapat, kenapa orang-orang justru berlomba-lomba berpolitik? Karena melalui lembaga politik kelak akan mengantarkan para politisi hingga mengisih pos-pos strategis baik di eksekutif ataupun legislates, bagi yang berprofesi sebagai pengusaha sekaligus plitisi mereka hanya menjadikan lembaga itu sebagai alat pelindung kepentingannya dari dalam, kalau yang murni politisi, mereka pasti menjadikan lembaga itu sebagai kesempatan besar untuk memperkaya diri bukan lagi masyarakat. Dengan kekuasaan apa saja bisa dibajak termasuk anggaran APBD/APBN yang mereka kelola.

Tidak jarang kantong-kantong safari anggota dewan mengalir aliran dana yang bermacam-macam, baik itu dari eksekutif bahkan tak paling sering dari pihak investor. Apalagi tiba musim penyusunan perda yang sarat dengan kepeningan-kepentingan segelintir pemodal. Makanya tak bisa kita heran banyak sekali perda yang dibuat oleh eksekutif dan legislative disamping tidak sesuai dengan kondisi geografi-sosial dan ekonomi di suatu daerah karena kalau bukan hasil jiblak perda daerah lain, pro-kontra antara masyarakat dan pemerintah sering kali terjadi karena penekanan perda lebih memprioritaskan pihak pengusaha ketimbang masyarakat.

Biaya Kampaye Tertutup

Syukur-syukur jika biaya untuk syarat calon itu bukan dari hasil pinjaman. Kalaupun lewat pinjaman, apalagi dari pihak investor maka jangan heran dikemudian jika mereka jadi pemenang pelkada dan pileg. Akan sangat jelas terjadi kesenjangan pada saat pengimplementasian diri mereka baik anggota dewan, bupati/wali kota ataupun gubernur. Pembodohan terhadap masyarakat akan dimulai, karena kecenderungan legislative dan eksetif jauh lebih dominan kepada investor bukan pada masyarakat baik pada wilayah kebijakan maupun peraturan yang dibuat. Bahkan pembentukan aturan dan kebijakan terkadang tidaklah murni pemikiran pemerintah telah terkontaminasi dengan ide-ide investor. Itu semua, bagi peminjam dana pencalonan, itu hanya sebagai ucapan terima kasih atau balas budi kepada investor. Itu sebabnya, bianya kampanye selalu tertutup.

Persiapan dana dari para peserta pemilu yang tertutup itu termasuk dari mana saja sumbernya, mengisyaratkan bahwa keterlibatan para penyuplai dana yang merupakan investor itu seola menutupi mata batin pemilik parpol. Meskipun UU kita melegalkan adanya bantuan kampanye dari lembaga nonpartai, hanya saja berapa besarannya selalu saja ditutupi, tentu demi memuluskan impian para investor tadi baru setelah itu masyarakat.

Posting Komentar untuk "Korupsi dan Perjudian Demokrasi"