Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Inventarisasi Hutan Terbaru

Inventarisai hutan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang potensi atau kekayaan sumberdaya hutan beserta kondisi lingkungannya secara lengkap.

Inventarisasi hutan dapat pula didefenisikan sebagai upaya pendeskripsian kuantitas dan kualitas pepohonan, spesifikai dan kuantitas organisme lain yang hidup di dalam hutan, beserta kondisi lahan yang merupakan tapak dari hutan itu sendiri. Dengan demikian, tujuan dari inventarisasi hutan dapat mencakup penaksiran volume atau nilai dari kayu, jumlah flora langka dan jumlah satwa tertentu yang ada di dalam kawasan hutan yang menjadi obyek kegiatan inventarisasi hutan.

Berdasarkan cakupan dan tingkat ketelitian obyek yang diinventarisir, inventarisasi hutan dapat dibedakan atas :

1. Inventarisasi hutan tingkat nasional, yaitu inventarisasi yang dilakukan di seluruh wilayah Republik Indonesia, untuk mendapatkan data dan informasi yang lengkap tentang kondisi dan potensi sumberdaya hutan beserta lingkungannya. Inventarisasi ini harus dilakukan secara periodik, dan menurut PP No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, inventarisasi hutan tingkat nasional dilakukan satu kali dalam lima tahun.

2. Inventarisasi hutan tingkat wilayah, yaitu kegiatan inventarisasi hutan yang meliputi kawasan hutan di wilayah provinsi dan atau kabupaten. Inventarisasi hutan tingkat wilayah mengacu pada pelaksanaan dan hasil inventarisaasi hutan tingkat nasional, yang dilakukan paling sedikit satu kali dalam lima tahun.

3. Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, yaitu inventarisasi yang dilakukan untuk mendukung atau memfasilitasi penyusunan rencana pengelolaan hutan pada suatu DAS. Inventarisasi hutan tingkat DAS dilaksanakan dengan mengacu pada hasil inventarisasi hutan tingkat provinsi dan tingkat nasional.

4. Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan, yaitu inventarisasi yang dilakukan untuk mendukung atau memfasiltasi penyusunan rencana kegiatan tahunan pada blok operasinal setiap tahun, dan dilakukan minimal sekali lima tahun.

Pada prinsipnya, kegiatan inventarisai hutan dilakukan untuk menyediakan data dan informasi tentang jenis, potensi serta penyebaran potensi hutan berupa kayu dan bukan kayu yang diperlukan bagi kegiatan penyelenggaraan pengelolaan hutan, mulai dari pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumberdaya hutan, penyusunan rencana kehutanan dan pembangunan sistem informasi kehutanan.

Secara umum, tahapan pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan adalah sebagai berikut :

1. Persiapan, meliputi pengurusan ijin, konsultasi dengan Kepala Daerah tentang keikutsertaannya.

2. Penetapan populasi, satuan analisis dan intensitas sampling. Petak dan anak petak dapat dijadikan satuan analisis atau satuan penilaian (assessment unit) dalam inventarisasi hutan.Metode dan intensitas sampling disesuaikan dengan keadaan areal hutan yang diinventarisasi.

3. Penentuan satuan contoh, yaitu dapat berupa lingkaran, empat persegi panjang, jalur atau PPS (plot proportion to size) dengan alat relaskop. Dengan PPS, pengukur tidak perlu malakukan pengukuran batas plot dilapangan, kecuali ada keraguan pada pohon-pohon batas (border line tree). Dengan PPS diharapkan pengukuran pohon dapat terlaksana secara lebih efisien dan lebih teliti.

4. Penetapan Teknik pengambilan contoh ; bisa tanpa stratifikasi ataupun dengan stratifikasi.

5. Sasaran pengamatan ; dapat meliputi lapangan, tanah, tumbuhan bawah, permudaan, pohon, hasil hutan bukan kayu

6. Pelatihan pelaksana dan pembentukan tim pelaksana

7. Perencanaan jadwal kegiatan

8. Pelaksanaan inventarisasi, serta

9. Pengolahan dan analisis data

Pengukuhan Kawasan Hutan

a. Pengertian

Pengukuhan kawasan hutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memberi kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak dan luasan dari suatu kawasan hutan. Pengukuhan hutan meliputi kegiatan-kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan kawasan hutan dan pengesahan batas-batas, letak, luas, fungsi dan status hukum suatu kawasan hutan tertentu.

b. Prinsip Dasar

Kepastian hukum tentang status kawasan hutan tertentu harus didasarkan pada pengakuan dari semua stakeholder. Untuk itu diperlukan kejelasan tentang batas-batas wilayah hutan, batas administrasi pemerintahan, dan kondisi biofisik kawasan hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Pengukuhan kawasan hutan harus melibatkan semua stakeholder, khususnya pemerintah daerah dan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan, agar di kemudian hari tidak menimbulkan perselisihan diantara para stakeholder yang bersangkutan.

c. Informasi dan atau Dokumen Perencanaan yang Diperlukan

Pengukuhan hutan harus diselaraskan dengan perencanaan wilayah atau tata ruang yang cakupannya lebih luas. Sehubungan dengan itu, pelaksanaan pengukuhan hutan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a) Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)

b) Batas administrasi pemerintahan propinsi dan kabupaten Pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP atau TGH

c) Usulan atau rekomendasi Gubernur dan atau Bupati/walikota

d) Kondisi wilayah yang secara teknis dapat dijadikan hutan

e) Metode Pelaksanaan Kegiatan Pengukuhan Hutan

Secara umum, terdapat empat tahapan dalam Pengukuhan hutan, yaitu :

1. Penunjukan kawasan hutan : yang dapat meliputi wilayah beberapa propinsi, wilayah satu provinsi, wilayah beberapa kabupaten / kota atau wilayah satu kabupaten / kota tertentu saja.

2. Penataan batas kawasan hutan, mencakup:

a. Pengukuran dan pemancangan patok batas sementara

b. Pengumuman hasil pemancangan batas patok sementara

c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan yang ada di dalam kawasan hutan

d. Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat sekitar trayek batas dan di dalam kawasan hutan

e. Penyusunan Berita Acara Pemancangan Batas Sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara

f. Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas

g. Pemetaan hasil penataan batas

h. Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas dan PetaTata Batas

i. Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan Gubernur

3. Pemetaan kawasan hutan ; yang harus dilakukan secara partisipatif (yaitu dengan melibatkan wakil-wakil masyarakat), dan hasilnya memuat atau menggambarkan posisi atau lokasi dari setiap pal batas yang telah dipasang.

4. Penetapan kawasan hutan. Hasil penataan batas kawasan hutan yang telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas selanjutnya dilakukan disahkan oleh Menteri.

Penatagunaan Kawasan Hutan

a. Pengertian

Penatagunaan kawasan hutan adalah pembagian kawasan hutan menurut fungsi dan penggunaannya, untuk mewujudkan suatu pengelolaan hutan yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari bagi kemakmuran rakyat. Pasal 12 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menegaskan bahwa Penatagunaan kawasan hutan merupakan salah satu bagian kegiatan penting dari perencanaan kehutanan.

Pasal 6 UU No 41 tahun 1999, menjelaskan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi. Berdasarkan fungsi tersebut, Pemerintah selanjutnya mengelompokkan kawasan hutan menurut fungsi pokoknya, yaitu :

1. Hutan konservasi ; yang dapat lagi dibedakan atas :

a. Hutan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa)

b. Hutan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam)

c. Taman Buru

2. Hutan lindung, dan

3. Hutan produksi :

a. Hutan Produksi Terbatas

b. Hutan Produksi Biasa

c. Hutan Produksi yang dapat dikonversi

Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, menjelaskan beberapa pengertian sebagai berikut :

1. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah, serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Dengan pengertian ini, maka kawasan lindung mencakup :

a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yaitu kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air

b. Kawasan perlindungan setempat yaitu sempadan pantai, sungai, waduk atau danau dan mata air

c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, yang terdiri atas kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, serta cagar budaya dan ilmu pengetahuan

d. Kawasan rawan bencana alam

2. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagaiperlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (UU No 41 Tahun 1999)

3. Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama

4. Hutan konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya (UU No 41 Tahun 1999)

5. Kawasan resapan air adalah daerah-daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.

6. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai

7. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, gang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

8. Kawasan sekitar danau/waduk adalah kawasan tertentu di sekeliling danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk

9. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air

10. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

11. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah daerah yang mewakili ekosistemnya khas di lautan maupun perairan lainnya, yang merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada

12.Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan laut

13. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi

14. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa, alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, serta budaya, pariwisata dan rekreasi

15. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam

16. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas

17. Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam

Faktor-faktor yang diperhatikan dalam penatagunaan hutan

1. Kondisi biofisik kawasan (konfigurasi lapangan, jenis tanah, iklim/curah hujan, geomorfolopgi, flora dan fauna)

2. Kondisi sosial ekonomi di sekitar dan di dalam kawasan hutan

3. Luas kawasan hutan

Pembentukan wilayah pengelolaan di tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :

1. Karakterisitik hutan

2. Tipe hutan

3. Fungsi hutan

4. Daerah aliran sungai

5. Kondisi sosial budaya (hubungan antar masyarakat dengan hutan,aspirasi masyarakat lokal, serta kearifan tradisional)

6. Kondisi ekonomi

7. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, yang karena karakteristik tipe hutan dan kondisinya, melampaui batas administrasi pemerintahan, harus diatur dan atau ditetapkan oleh Menteri. Pedoman teknis yang ada menguraikan tentang pembentukan wilayah pengelolaan hutan produksi. Pembentukan wilayah pengelolaan yang lain seperti KPHL, KPHK, KPHKM, KPDAS dan KPHA, pada dasarnya ke lima pembentukan wilayah tersebut sama halnya untuk hutan lestari dan penerapan tugasnya yang berdeda-beda.

Tujuan dan Fungsi

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan produksi bertujuan untuk mewujudkan pengolaan hutan yang efisien dan lestari. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan lindung bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi pokok hutan lindung sebagai pengatur tata air, serta untuk menjamin pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan maupun pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, secara lestari, tanpa menggagu fungsi pokok hutan lindung yang bersangkutan.

Informasi yang Perlu Dipertimbangkan

1. Karakteristik lahan

2. Tipe hutan

3. Fungsi hutan

4. Kondisi daerah aliran sungai

5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam kawasanhutan

6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat

7. Batas administrasi pemerintahan

8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan

9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen

10. Penggunaan lahan

Penyusunan rencana kehutanan menurut fungsi pokok kawasan meliputi :

Rencana pengelolaan hutan produksi

1. Berdasarkan wilayah pengelolaannya, kawasan hutan produksi dapat kelola sebagai suatu kesatuan pengusahaan hutan terkecil (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, disingkat KPHP), sepanjang kawasan hutan produksi tersebut yang layak diusahakan dengan fungsi pokok sebagai penghasil benda-benda ekonomi (fungsi ekonomi) secara lestari.

2. Rencana pengelolaan hutan lindung Rencana pengelolaan hutan lindung mencakup rencana pemanfaatan hutan lindung, yang juga meliputi rencana pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok hutan lindung yang bersangkutan).

3. Rencana pengelolaan hutan konservasi Rencana pengelolaan hutan konservasi mencakup rencana pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru yang disusun dengan mengacu pada peraturan perundang - undangan yang berlaku.

Berdasarkan Jangka Waktu dan Fungsi Rencana

Berdasarkan hasil penataan hutan, pada setiap unit atau kesatuan pengelolaan hutan disusun rencana pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspirasi, partisipasi dan nilai budaya masyarakat serta kondisi lingkungan.

Rencana pengelolaan hutan tersebut meliputi :

1. Rencana pengelolaan hutan jangka panjang (RPH-JP) yang memuat rencana kegiatan secara makro tentang pedoman, arahan serta dasar - dasar pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. RPH-JP disusun oleh instusi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan pada tingkat Provinsi dan disahkan oleh Menteri.

2. Rencana pengelolaan hutan jangka menengah (RPH-JM) memuat rencana yang berisi penjabaran rencana pengelolaan hutan jangka panjang ke dalam rencana yang berjangka jangka waktu 5 (lima) tahun, disusun oleh instusi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan Provinsi dan disahkan oleh Menteri.

3. Rencana pengelolaan hutan jangka pendek atau Rencana pengelolaan hutan tahunan (RPH-JT) memuat rencana operasional secara detail yang merupakan penjabaran dari rencana pengelolaan hutan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dan disahkan oleh Gubernur.

Jenis rencana yang harus dibuat oleh Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi :

1. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) untuk seluruh areal kerja selama jangka waktu berlakunya izin, yang dibuat dan diajukan selambat-lambatnya satu tahun setelah izin diberikan.

2. Rencana kerja lima tahun yang pertama, yang dibuat dan diajukan selambat-lambatnya 3 bulan sejak RKUPHHK disahkan

3. Rencana kerja tahunan (RKT), disajikan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum RKT tahun berjalan untuk diajukan kepada Menteri guna mendapatkan persetujuannya.

Jenis rencana yang harus dibuat oleh Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu meliputi :

1. Rencana kerja usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (RKUPHHBK) 10 tahun, dibuat dan diajukan selambat-lambatnya satu tahun setelah izin diberikan

2. Rencana Kerja Lima Tahun yang pertama, dibuat dan diajukan selambat - lambatnya 3 bulan sejak RKUPHHBK disahkan.

3. Rencana Kerja Tahunan (RKT), diajukan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum RKT tahun berjalan

Semua rencana pengelolaan hutan tersebut di atas memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan sebagai dasar penyelenggaran kegiatan pengelolaan hutan.

Posting Komentar untuk "Pengertian Inventarisasi Hutan Terbaru"