Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesabaran Membatasi Dirinya Marah, Sedih dan Senang

Suara angin berbisik kepada Tuhan melihat jejak kaki yang terus bergerak. Hamba menjadi rakus disaat kenyang dan berwujud malaikat dikala hari bercermin akan hausnya wajah lesu. Aliran air tak sebening musim hujan, namun hidup tetap mengalir saat kemarau yang nampak menjauhi dingin, panas, gugur dan semi.

Jejak ekologi bertebaran sebagai seribu satu wajah nyata sejarah manusia. Apakah kita beda ? ya, manusia berwajah seribu tapi manusia tetaplah manusia dalam kemanusiaan yang manusiawi.

Tuhan tetap tersenyum dengan kehendaknya dan keMAHA penyayang kepada ciptaan yang hadir bagai gelas tak besudut. Akal mengambil peran untuk menafkahi dua jalan sementara raga berpindah mengikuti alur waktu yang buram. Dasar alamiah memulai pijakan hasrat naluri manusia hingga menjelma dari kesempurnaan diantara ciptaan.

Cobaan terus mengawal nafas raga akan hidup dan kehidupan, maka kita menjadi manusia yang pasif dalam mengukur kemampuan yang namanya sabar. Seseorang pernah berbisik, jika anda mengatakan sabar ada batasnya maka anda sendiri belum sabar. Sejenak mengendapkan pikiran dari kesibukannya untuk mencerna bisikan itu. Maka logika bersuara dengan santun, jika sabar tidak ada batasnya maka kita selayaknya menjabat sebagai manusia yang sempurna, jika sabar tidak ada batasnya maka naluri emosi yang bersemayam pada jiwa manusia akan gugur terbawa embun di pagi hari dan jika sabar tidak ada batasnya maka kita jauh dari manusia yang manusiawi.

Emosi menjabarkan dirinya menjadi marah, sedih dan senang. Maka rasa itulah yang membatasi kesabaran. Ungkapan rasa memberi pilihan pada raga untuk memilih. Maka senang menjadikanya manusia, sedih menjadikanya manusia dan marah menjadikannya manusia yang manusiawi dalam semesta.

Posting Komentar untuk "Kesabaran Membatasi Dirinya Marah, Sedih dan Senang"