Tukang Sampah dan Petugas Kebersihan
Pembahasan tentang sampah, sepertinya tidak terlalu menarik lagi. Tidak seramai ketika kita bercerita tentang politik. Tidak seheboh pertarungan dua orang kakak beradik yang saling sikut saat ingin merebut kekuasaan. Tidak seramai berita pencitraan para pejabat. Tidak seindah kesenian para wartawan yang saling serang, karena hanya masalah kemitraan. Tidak seramai sebuah "partai adil", yang membagikan daging sapi secara merata saat sunyi, tapi tetap saja terungkap. Tidak se ... Se ... Se ... Semua yang bernaung di bawah ke-"bulshit"-an, yang bukan lagi fiktif belaka(ngan) ini.
Berbicara tentang sampah, tidak sebegitu cerdas Pak Mendikbud, yang kita tahu sendiri, begitu banyak tanggapan-tanggapan miring terhadapnya. Berbicara tentang sampah, tak perlu memukul guru; tak perlu saling menudu; tak perlu saling mengingatkan. Tersebab, kita semua yang bernama mahluk, bernama manusia, sangat benci dengan yang namanya sampah. Bahkan seekor tikus yang tidur di loteng istana negara pun, tentu sangat membenci sampah; membenci segala yang bernama kekotoran, kecuali menggigit uang di kala sunyi telah bersekongkol.
Karena pembahasan tentang sampah tidak lagi semenarik semua hal yang tersebut di atas, maka jalan satu-satunya adalah, kita kembalikan ke diri kita masing-masing. Masih suka buang sampah sembarangan, tidak? Jika masih, maka sepertinya kita harus lebih banyak mencontohi anak-anak TK, yang punya kesadaran tinggi akan hal itu.
Pagi ini, Jumat, 12 Agustus 2016, tidak seperti pemandangan saya sebelum-sebelumnya. Di atas trotoar, saya mengamati dengan mata kepala serta hati saya sendiri. Kejadian yang terlalu pelik untuk saya tafsirkan secara cepat. Saat sedang duduk di teras Waroeng Sahabat, Jl. Dr. Sutomo-Manado--tepatnya di depan Fakultas Kedokteran Gigi Unsrat--, seorang bapak dengan lengan yang patah, dengan lengan yang berpenyangga, dengan perut yang terus mengempes, dengan uban yang berjatuhan,--sedang menyapu sampah-sampah dari dedauanan yang berguguran--dengan satu tangan yang gemetar; dengan kedua kaki, yang terlalu lelah untuk melangkah. Sesekali, kedua kakinya yang kesulitan menjinjit itu, menjadi saksi atas sebab apa yang telah terjadi.
"Aduh ... kasihan. Siapa punya bapak itu, mama e ...," ujar hati saya kurang lebih begitu, dan sepertinya telah teriris. Pedih, sungguh! Kepedihan itu nyata.
Sebagai insan yang tak bisa diperlihatkan dengan hal-hal seperti itu, saya terikut "Baper"--kebawa perasaan istilah anak-anak sekarang. Karena semakin tak tahan dan ingin rasanya membantu, saya pun berujar kepada Iswan, "Ambil sapu lidi, supaya 'torang dua' bantu menyapu ...."
Bukan apa-apa. Tapi, mungkin dengan ikut terlibat sedikit saja terhadap kepedihan yang dia rasakan, saya semakin sadar dan hati-hati. Supaya kelak, jika tanpa sadar saya membuang sampah sembarangan, kejadian saat ini mengingatkan saya; mengingatkan suatu kejadian langka, saat matahari baru mau meraba daun-daun hijau di pucuk-pucuk ranting.
(Muzakir Rahalus)
Berbicara tentang sampah, tidak sebegitu cerdas Pak Mendikbud, yang kita tahu sendiri, begitu banyak tanggapan-tanggapan miring terhadapnya. Berbicara tentang sampah, tak perlu memukul guru; tak perlu saling menudu; tak perlu saling mengingatkan. Tersebab, kita semua yang bernama mahluk, bernama manusia, sangat benci dengan yang namanya sampah. Bahkan seekor tikus yang tidur di loteng istana negara pun, tentu sangat membenci sampah; membenci segala yang bernama kekotoran, kecuali menggigit uang di kala sunyi telah bersekongkol.
Karena pembahasan tentang sampah tidak lagi semenarik semua hal yang tersebut di atas, maka jalan satu-satunya adalah, kita kembalikan ke diri kita masing-masing. Masih suka buang sampah sembarangan, tidak? Jika masih, maka sepertinya kita harus lebih banyak mencontohi anak-anak TK, yang punya kesadaran tinggi akan hal itu.
Pagi ini, Jumat, 12 Agustus 2016, tidak seperti pemandangan saya sebelum-sebelumnya. Di atas trotoar, saya mengamati dengan mata kepala serta hati saya sendiri. Kejadian yang terlalu pelik untuk saya tafsirkan secara cepat. Saat sedang duduk di teras Waroeng Sahabat, Jl. Dr. Sutomo-Manado--tepatnya di depan Fakultas Kedokteran Gigi Unsrat--, seorang bapak dengan lengan yang patah, dengan lengan yang berpenyangga, dengan perut yang terus mengempes, dengan uban yang berjatuhan,--sedang menyapu sampah-sampah dari dedauanan yang berguguran--dengan satu tangan yang gemetar; dengan kedua kaki, yang terlalu lelah untuk melangkah. Sesekali, kedua kakinya yang kesulitan menjinjit itu, menjadi saksi atas sebab apa yang telah terjadi.
"Aduh ... kasihan. Siapa punya bapak itu, mama e ...," ujar hati saya kurang lebih begitu, dan sepertinya telah teriris. Pedih, sungguh! Kepedihan itu nyata.
Sebagai insan yang tak bisa diperlihatkan dengan hal-hal seperti itu, saya terikut "Baper"--kebawa perasaan istilah anak-anak sekarang. Karena semakin tak tahan dan ingin rasanya membantu, saya pun berujar kepada Iswan, "Ambil sapu lidi, supaya 'torang dua' bantu menyapu ...."
Bukan apa-apa. Tapi, mungkin dengan ikut terlibat sedikit saja terhadap kepedihan yang dia rasakan, saya semakin sadar dan hati-hati. Supaya kelak, jika tanpa sadar saya membuang sampah sembarangan, kejadian saat ini mengingatkan saya; mengingatkan suatu kejadian langka, saat matahari baru mau meraba daun-daun hijau di pucuk-pucuk ranting.
(Muzakir Rahalus)
Posting Komentar untuk "Tukang Sampah dan Petugas Kebersihan"