Dua Ungkapan Tentang Menulis
Oleh : Muzakir Rahalus
Di dunia tulis-menulis, entah di bidang jurnalistik dan sastra, bahkan di tingkat menulis status di Facebook saja, imajinasi itu sangatlah penting. Ketika ingin menulis dua paragraf saja, kita membutuhkan waktu kurang lebih 5-10 menit untuk berpikir. Apalagi, jika status yang ditulis ingin dibuat se-puiti-s mungkin. Bisa mempekerjakan otak kita 15-30 menit. Itupun jika puisi yang ditulis hanya asal jadi. Lain lagi jika puisi yang ditulis dianggap "gagal", atau masih dibutuhkan pengendapan secara mendalam.
Kembali ke topik utama tadi, yakni menulis butuh berpikir, berarti kita juga butuh kerja otak untuk menuangkan ide atau imajinasi yang menari-nari dan berotasi bak sebuah elektron mengitari atom, kehabisan energi, dan jatuh ke kulit terbawah, hingga menjadikan otak netral (jangan dulu dikritik, karena ini hanya imajinasi). Nah, berarti secara tidak langsung, ungkapan yang mengatakan, " Menulislah Tanpa Berpikir", akan sedikit terbantahkan, karena pada saat menulis, kita juga sedang berpikir.
Jika ungakapan di atas kita "samaratankan" dengan ungkapan "Imajinasi lebih penting dari pengetahuan", maka saya cenderung memilih ungkapan ke dua. Karena dari imajinasi--yang blak-blakan sekalipun--kita dibuat berpikir lagi, sehingga lahirnya pengetahuan, walau dibantah habisan-habisan dulu dalam kurun waktu yang tidak singkat-singkatnya.
Sekarang ini kalau kita perhatikan, banyak sastrawan yang memilih terjun sebagai wartawan. Maaf, bukan hanya satrawan, tapi ada juga yang lain-lain, misalnya orang teknik: sipil, elktro, dsb., orang hukum, orang politik, bahkan dari kalangan 'scientist' (maaf, bukan nama MAPALA di suatu fakultas), misalnya, orang biologi, bahkan yang pernah bercita-cita menjadi KIMIAWAN sekalipun.
Kadang di benak saya timbul pertanyaan, " Ada apa ya?" Apakah kita sudah begitu dalam terjerumus dalam sebuah kebahagiaan? Kebahagian yang datang saat menulis? Bisa saja, dan entahlah. Tapi, kalau mau jujur, saya lebih menikmati tulisan satrawan ketika menulis berita. Di sana, saya seperti berdiri di atas panggung dan membacakan sebuah puisi. Kenapa? Karena keindahan tulisan yang begitu puitis menari-nari di kepala saya saat membaca berita mereka.
Ketika menulis uneg-uneg ini, saya tetap bersedih kepada Ibu Puan yang ketika ditanya soal Yuyun, dia hanya bisa menjawab begitu? Kita sama-sama sibuk bu. Sama-sama sibuk urus isi perut.
Di dunia tulis-menulis, entah di bidang jurnalistik dan sastra, bahkan di tingkat menulis status di Facebook saja, imajinasi itu sangatlah penting. Ketika ingin menulis dua paragraf saja, kita membutuhkan waktu kurang lebih 5-10 menit untuk berpikir. Apalagi, jika status yang ditulis ingin dibuat se-puiti-s mungkin. Bisa mempekerjakan otak kita 15-30 menit. Itupun jika puisi yang ditulis hanya asal jadi. Lain lagi jika puisi yang ditulis dianggap "gagal", atau masih dibutuhkan pengendapan secara mendalam.
Kembali ke topik utama tadi, yakni menulis butuh berpikir, berarti kita juga butuh kerja otak untuk menuangkan ide atau imajinasi yang menari-nari dan berotasi bak sebuah elektron mengitari atom, kehabisan energi, dan jatuh ke kulit terbawah, hingga menjadikan otak netral (jangan dulu dikritik, karena ini hanya imajinasi). Nah, berarti secara tidak langsung, ungkapan yang mengatakan, " Menulislah Tanpa Berpikir", akan sedikit terbantahkan, karena pada saat menulis, kita juga sedang berpikir.
Jika ungakapan di atas kita "samaratankan" dengan ungkapan "Imajinasi lebih penting dari pengetahuan", maka saya cenderung memilih ungkapan ke dua. Karena dari imajinasi--yang blak-blakan sekalipun--kita dibuat berpikir lagi, sehingga lahirnya pengetahuan, walau dibantah habisan-habisan dulu dalam kurun waktu yang tidak singkat-singkatnya.
Sekarang ini kalau kita perhatikan, banyak sastrawan yang memilih terjun sebagai wartawan. Maaf, bukan hanya satrawan, tapi ada juga yang lain-lain, misalnya orang teknik: sipil, elktro, dsb., orang hukum, orang politik, bahkan dari kalangan 'scientist' (maaf, bukan nama MAPALA di suatu fakultas), misalnya, orang biologi, bahkan yang pernah bercita-cita menjadi KIMIAWAN sekalipun.
Kadang di benak saya timbul pertanyaan, " Ada apa ya?" Apakah kita sudah begitu dalam terjerumus dalam sebuah kebahagiaan? Kebahagian yang datang saat menulis? Bisa saja, dan entahlah. Tapi, kalau mau jujur, saya lebih menikmati tulisan satrawan ketika menulis berita. Di sana, saya seperti berdiri di atas panggung dan membacakan sebuah puisi. Kenapa? Karena keindahan tulisan yang begitu puitis menari-nari di kepala saya saat membaca berita mereka.
Ketika menulis uneg-uneg ini, saya tetap bersedih kepada Ibu Puan yang ketika ditanya soal Yuyun, dia hanya bisa menjawab begitu? Kita sama-sama sibuk bu. Sama-sama sibuk urus isi perut.
Posting Komentar untuk "Dua Ungkapan Tentang Menulis"