Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Baca dan Tulislah

Oleh : Muzakir Rahalus

Di mana saja kita bisa menulis. Termasuk di Facebook. Zaman sudah canggih, walau sedang berada di tengah hutan, kau bisa saja menulis. Membuat catatan penting, kemudian diulas nanti ketika sudah kembali ke rumah. Adik, tulislah sebuah ekspresi yang menyenangkan dirimu, dan sedikit bermanfaat bagi orang yang membaca statusmu nanti. Jika tidak ada yang membaca, biarkan saja, karena kau sudah sedikit tenang dengan tinta ekpresi yang tertumpah secara tidak percuma.

Baca Muzakir Rahalus : Dua Ungkapan Tentang Menulis

Jika tidak ada yang membaca, cuek saja. Tidakkah kau lihat, buku-buku di rak-rak telah banyak debunya? Tidakkah kau lihat, buku-buku tua itu, tubuhnya hancur dimakan rayap? Tidakkah kau lihat, Al-Qur'an tak ada yang menyentuhnya lagi? Tidakkah kau lihat, para penulis setiap hari menerbitkan buku yang rupa-rupa? Dan apakah kau telah tahu, bahwa teman-teman yang sebaya denganmu di kampung telah melakukannya? Mereka telah berkarya. Mereka menulis "Dongeng untuk Langit".

Sekali lagi, jangan hiraukan mereka yang tak membaca sebuah peristiwa, sebuah momen yang kau tangkap dengan hape China-mu, kemudian kau tulis dengan menceritakan momennya yang diam-diam menjalar ke segala beranda-beranda temanmu yang bosan ?

perlu takut untuk tidak dibaca orang. Karena begitu banyak penulis-penulis di sini (FB), setiap hari mereka begitu giat-giatnya mencari para pembaca. Mereka tawarkan sana sini karya mereka. Kenapa begitu? Karena bangsa kita sudah terlalu banyak menampung orang-orang pemalas. Ya, pemalas membaca. Tapi, apakah kata pemalas cocok untuk dilemparkan ke wajah semua orang? Bagaimana jika masih sangat banyak anak-anak miskin, yang mencari makan saja, mereka harus bertempur seharian penuh--mengelap keringat yang jatuh tanpa henti, ketika panas matahari mencium wajah mereka yang lemah? Atau yang lainnya. Misal, ibu mereka harus dipukul dulu oleh majikan, hanya untuk memperoleh sesuap nasi ? Itu baru sekedar mencari uang makan untuk dirinya sendiri, sehari sekali untuk mengentalkan ASI-nya yang kian mengering. Belum lagi kedua anaknya yang lain. Ya, mereka yang sedari pagi menahan sakit di perut. Tangan kiri mereka melingkari perut mereka yang pipih, sementara tangan kanan mereka--terangkat ke atas, dan menengadah sunyi di trotoar-trotoar kota kotor yang dipenuhi tikus. Pernahkah kau bertanya, kenapa mereka miskin? Saya rasa, negara ini sangat kaya. Dan pemerintah punya tanggung jawab atas persoalan keumatan tersebut. Mereka tak pantas jadi pengemis dan pengais sampah dari masyrakat pongah lainnya.

Baca Muzakir Rahalus : Ejaan Lama vs EBI 

Wahai penguasa. Apakah kalian naik dan menduduki sofa empuk itu, karena atas keinginan hati? Atau, hanya ingin mengejar kekuasaan, untuk kemudian menjajah kembali mereka--yang telah kalian iming-imingi ? Oh, zaman macam apa ini* ? Peradaban macam apa ini*? Ingat pertanggung jawaban kalian kelak, ketika semua manusia telah musnah. Manusia dikumpulkan di padang yang luas, untuk dimintai segala sesuatunya.

Maka, nikmat Tuhan manakah yang harus kita dustakan setiap saat ? Nikmat Tuhan mana ?

Ah ... ! Tiba-tiba saja, di ujung bait ini, ketika ada pertanyaan masalah nikmat, air mata ini tak bisa tertahan lagi. " Jangan bersedih lagi, wahai hati yang lemah," dalam hatiku.

Sedangkan, dari arah kiri teman saya yang sedari tadi lelap, lagu paling sedih itu--"DONNA-DONNA"-- mengalun pelan-pelan. Masuk ke dalam lagi, dan mata ini, telah sempurna membasah. Menetes tak tertahankan. "Bagaimana pedih perih yang kau rasakan kala itu, wahai Soe Hok Gie?" tanyaku.

*Pertanyaan Alm. W.S Rendra (semoga amal-amalnya diterima oleh-Nya).

Manado, Kamis, 12 Mei 2016

Baca Muzakir Rahalus : Kritik Terhadap Status di Jejaring Sosial 

Posting Komentar untuk "Baca dan Tulislah"