Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen : Sedikit Kisah di Pekanbaru

Cerpen : Sedikit Kisah di Pekanbaru


MENGHARGAI PEMBERIAN


Oleh : Muzakir Rahalus


Untuk Cikie Wahab

Malam itu, saya sedang lapar dan mengantuk sekali. Kondisi tubuh juga kurang begitu fit. Demam, flu, dan suhu tubuh yang panas, sangat tidak bisa dibendung untuk berdiam di tempat. Saya harus mondar-mandir, seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Waktu itu, saya dan kedua teman saya ( Faruk Al-Iksan Umasangadji dan Muhajir Samad) sedang berjaga-jaga di arena kongres HMI ke-29, di Gelanggang Olahraga Remaja (GOR), Pekanbaru, Riau. Uang di tangan sudah habis. Rokok yang biasa menemani kita untuk ngobrol, sudah sedari tadi dilahap angin juga tanah. Kami berjaga-jaga mulai pukul 15.00 WIB-20.00 WIB.

Kami ditugaskan oleh senior untuk berjaga-jaga di arena kongres; mengumpul informasi; mencari tahu, apakah meja-meja dan kursi-kursi masih ada atau tidak. Karena pada saat itu, ada isu bahwa kongres tidak akan diselesaikan di Pekanbaru, dan akan dipindahkan ke Jakarta.

Informasi sudah kami kabarkan. Foto-foto tentang kondisi dalam forum kongres sudah kami kirim, sebagai bukti bahwa kondisi forum masih aman. Aman terkendali.

Karena tidak ada rokok dan uang di tangan, kami bertiga membisu. Untuk menghubungi siapa saja yang bisa kita minta tolong, pulsa saja sudah ludes. Hape hanya bisa kita gunakan untuk selfie-selfie di dalam forum. Kita bertiga saling gantian. Setelah itu, suara-suara kita hilang. Bisu datang begitu cepat. Sesekali, kita terkaget sudah tertidur di atas kursi dan meja-meja di ruang kongres.

"Mari jo torang kaluar cari angin di luar dulu" ajak saya dengan dialeg Manado (Ayo keluar dulu. Ambil angin segar di luar).

Langkah saya untuk keluar dari arena pun langsung diikuti oleh mereka. Sesampai di luar, sama saja. Kita tetap saling tatap mata dengan wajah yang masam dan kemudian memecahkan tawa dari masing-masing mulut. Mulut yang lapar, menganga dan kering dari asap dan kopi. Seperti kuda yang lagi nyengir, karena menginjak tahinya sendiri.

Beberapa jam sebelum kita ke arena, saya sempat BMan dengan Cikie Wahab. Penulis paling berbakat, yang menurut beberapa informan, katanya Cikie cukup terkenal di Pekanbaru, lewat karya-karyanya: cerpen, novel, juga puisi-puisi. Saya mengenal Cikie hanya melalui facebook. Sudah sekitar dua tahun lalu kalau tidak salah. Tapi, belum terlalu akrab. Kisah akrab kita, bisa dibilang lewat status yang pernah saya tulis di waktu itu. Kurang lebih begini: "Sedang berada di Pekanbaru-Riau. Menghadiri kongres HMI ke-29".

Dari status inilah Cikie komentari dengan ekpresi yang sedikit tidak percaya. Terjadilah bakubalas komentar, dan saya pun meminta PIN BBMnya. Hehehe.

Ok. Lanjut ke yang tadi. Obrolan saya dengan Cikie, hanya berkisar pada cerita-cerita tentang dunia tulis-menulis. Komunitas-komunitas yang pernah dia ikuti, sampai bisa menulis sejago itu dan menghasilkan karya-karya hebat. Dan, tentang janjinya bahwa akan mentraktir saya minum kopi, juga memberikan oleh-oleh sebuah karyanya, dengan judul: " Memelukmu dengan Erat", langsung dengan tanda tangannya.

Saya teringat dengan janjinya itu.

"Faruk, Hajir, ngoni dua tunggu di sini dulu ne. Kita ada janjian deng orang kowa". Dengan dialeg Manado, saya pamitan ke kedua teman saya. Yang kalau dalam Bahasa Indonesianya, kurang lebih begini: kalian tunggu sebentar ya. Saya lagi janjian dengan teman saya.

Mereka mengiyakan. Saya pun langsung bergegas pergi. Kebetulan, Cafe tempat Cikie biasa membatu kakaknya bekerja, hanya berseberangan dengan arena kongres HMI (Gedung GOR). Cukup dengan berjalan kaki. Oh ya, nama Cafe itu sudah saya lupa. Tapi, kalau tidak salah, namanya GREEN CAFE (nanti Cikie yang mengklarifikasi). Hehehe.

Kebetulan sekali. Pada waktu itu, saya sedang mengaktifkan Wifi. Di Cafe itu menyediakan Wifi gratis. BBM saya pun langsung aktif. Saya langsung kabari Cikie, bahwa saya sedang berada di luar Cafe. Cikie pun datang, dan menyapa saya seperti orang kaget. Seperti heran, dan belum terlalu percaya dengan kehadiran saya.

" Dari mana Bang?" tanya Cikie sambil memperlihatkan senyumnya yang sudah tidak asing di mata saya lewat foto-fotonya.

"Dari keluarga baik-baik. Hehehe"

"Kok tiba-tiba sekali?" Cikie tersenyum, sambil menawarkan, kalau saya mau minum apa. Dingin atau panas. Asalkan bukan tuak.

"Biasa saja. Sesuai janjimu itu. Kopi dan novelmu yang sudah ada tanda tangannya". Saya menjawab sambil mencolokkan hape saya, yang sudah mau mati di negeri orang.

Cikie membuatkan saya satu gelas kopi gratis dan memberikan novelnya lengkap dengan tanda tangannya. Kita kembali ngobrol sambil selfie-selfie. Hehehe.

" Terima kasih atas hadiahmu ini ya. Ini sangat saya hargai, dan mudah-mudahan bisa menjadi motivasi buat saya, agar bisa sama sepertimu."

"Ah! Biasa saja Bang" Cikie menjawabnya dengan sedikit malu-malu.

"Oh ya. Terima kasih juga untuk PIN: Kita Adalah Puisi"

"Hehehe. Iya. Ambil saja. Itu sebagai kenang-kenangan dari saya. Mudah-mudahan, dari pemberianku ini, Abang bisa mengenangku. Mengenang hal-hal yang baik saja dariku." Cikie tersenyum lagi. Dia memang murah senyum.

"Oh ya, ini sudah larut. Saya pamit pulang dulu ya. Sekali lagi, terima kasih."

"Iya bang. Cafenya juga sudah mau tutup. Saya juga mau beres-beres untuk pulang. Hati-hati di jalan ya ..."

Sudah pukul 22.00 WIB. Kota Pekanbaru masih sangat ramai dengan lalu-lintas kendaraan. Polisi masih berjaga-jaga di sekitaran arena kongres. Rombongan-rombongan peramai kongres, gerobak-gerobak Sate Padang dan Air Tebuh menjadi warna tersendiri di pinggiran-pinggiran jalan depan GOR. Hijau-Hitam di mana-mana. Belum lagi, baliho-baliho, spanduk-spanduk dan umbul-umbul kandidat Calon Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI), terpampang di pohon-pohon dan di dinding-dinding kaca gedung GOR.

Lelah, mengantuk dan kondisi tubuh yang kurang fit, memancing saya harus langsung balik ke basecamp. Waktu itu, kami punya beberapa basecamp. Yang pertama di Alpha Hotel (untuk delegasi dari Hmi Cabang Manado), kedua di Hotel Tirta Kencana, dan di Perumahan Aur Kuning.

Saya lebih memilih ke Tirta Kencana. Karena di sana, kita juga tukaran sift untuk berjaga-jaga.

Faruk dan Muhajir entah kemana. Tapi, yang pasti, mereka masih di arena kongres bersama teman-teman yang lain. Pasti mereka sudah kenyang. Dan itu terbukti dengan cerita mereka besok harinya. Katanya, mereka juga ditraktir kopi dan dikasih uang yang sampai sekarang masih rahasia berapa jumlahnya.

Saya pun tidur. Novel Cikie tidur bersama saya. Saya pun, memeluknya dengan erat.

***
Sekian dan terima kasih lagi saya ucapkan kepadamu, atas pemberian ini.

Satu hal yang harus kita hargai, adalah sebuah pemberian. Walau sekecil apapun pemberian itu. Apalagi sebuah buku. Buku yang menjadi pintu untuk kita bisa masuk dan menyaksikan cakarawala-cakrawala di dunia ini. Salam.

Manado, Desember 2015

(Baca Juga Karya Muzakir Rahalus : Pagi Itu)

Posting Komentar untuk "Cerpen : Sedikit Kisah di Pekanbaru"