Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Imajinasi Tak Berjejak Ancam Padamkan Nalar

Pada abad ke 19 bumi yang menjadi pusat peradaban kosmopolitan di sebuah tempat bersemainya pencerahan dan rasionalitas Netzsche membawa api pemberontakan terhadap nalar yang kala itu menjadi dewa harapan dan tumpuan umat manusia untuk menggapai segenap impian. Netzsche mengatakan bahwa Agama telah ditelan oleh bumi dan Tuhan telah mati.

Bukan hanya Netzsche ada juga seorang murid dari mazhab Mu’tazillah, namanya Asy’ari juga berkata wahai hamba-hamba Tuhan yang percaya kepadanya muali hari ini ketahuilah bahwa manusia telah sesat di jalan Tuhan bagi mereka yang selalu menggunakan nalar bukankah nabi kita pernah bersabda bahwa orang yang percaya terhadap nalar adalah iblis, dengan percaya kepada nalar maka kita tidak lagi percaya kepada Tuhan yang maha bebas dari segenap prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria rasional.

Lihat juga : Terjebak Dalam Hasrat Imajinasi

Sejarah pemberontakan manusia terhadap nalar selalu berulang. Pada setiap zaman dan peradaban yang memiliki kekhasahan masing-masing, lahir tokoh-tokoh yang besar karena penentanganya yang amat sengit terhadap kokohnya posisi nalar sebagai hakim dalam sejarah peradaban manusia. Tentu saja modus perlawanan terhadap singasana nalar berbeda-beda sesuai dengan sosio kultur historis yang melatarbelakanginya. Seorang Asy’ari lahir dari peradaban yang mencapai puncaknya saat Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Daulah Abbasiyah, sedangkan Nietzsche dinegara eropa yang tengah mengukuhkan peradaban modernitasnya melalui rintisan rasionalisme antroposentris Descartes, Kosmologi mekanistik Newton dan pencerahan Kant. Jika rasionalitas model Mu’tazilah melahirkan pemberontakan membela Tuhan Asy’ariah, maka rasionalitas modernisme Eropa mendatangkan penentangan membela liarnya irasionalitas Nietzschean.

Sekarang modus pemberontakan antinalar ini berbeda, mereka bersekongkol dalam menyerang nalar. Keduanya juga sama-sama menerapkan oposisi Biner bahwa pegkonfirmasian yang satu melalui penegasan yang lain, yaitu jika Asy’ari mengafirmasi Tuhan melalui penegasan kehendak bebas manusia, Neitzsche mengfirmasi kehendak berkuasa manusia melalui penegasan Tuhan. Sekarang adalah zaman di mana kaum penentang nalar merasa memperoleh amunisi besar dari situasi dunia modern yang makintak jelas saja kemana arah peradaban manusia hendak dibawa. Berbagai krisis global yang multidimensional semacam krisis lingkungan, konflik, dan teror, serta kontra teror kekerasan yang kian menajam, praktik-praktik dehumanisasi, reitifikasi, alienasi, dan modus-modus krisis eksistensial manusia moderen itu semua merupakan lahan amat subur untuk tumbuh kesinisan dan kemuakan terhadap entitas-entitas yang dianggap sebagai produk rasionalitas moderen, sains, teknologi, demokrasi,humanisasi universal, liberalisme, kapitalisme dan positifisme.

Penentangan itu terpolarisasi kedalam dua kutub, pengukuhan identitas dan penafian identitas.Kutub yang pertama mencari penguatan diri melalui penonjolan identitas yang banyak mengambil bentuk ekskluvitas literal. Kutub yang kedua sebaliknya, merobek dan membakar narasi-narasi peradaban yang tak kunjung usai. Yang pertama bekerja melaui retorika simbol-simbol yang dipaksakan realitas sementara yang kedua menarik diri dari realitas seraya meratap dengan kepiluan emosi kegagalan.

Jika kutub yang pertama giat menggaduhkan realitas dunia yang telah amat bisisng dan pengap, kutub yang kedua aktif memproduksi simulasi-simulasi realitas untuk melabuhkan imajinasi dan naluri tak terarah. Kita bisa menyebutnya dengan resiko sedikit simplifikasi bahwa fundamentalisme skripturalistik dan postruktrularisme dekonstruksionis masing-masing adalah model dari kedua kutub ini. Keduanya tentu saja banyak mengandung perbedaan tapi di ikat lauatan emosi historis yang sama menetang kedigdayaan nalar. Michel Foucault, seorang kritikus sinis tehadap proyek pencerahan dan rasionalitas, telah tiba pada pendeklarasian kematian manusia. Menurut Foucault, manusia telah kehilang dirinya sebagai subyek yang berkesadaran karena di dera dan dikepung praktek-praktek obyetivitas. Melalui studi genologis ala Neitzche, Foucault merangkum bahwa sains melahirkan teknologi-teknologi kuasa yang mengontrol hidup manusia itu sendiri. Pengetahuan dan kebenaran adalah produksi kuasa, bukan repretansi realitas dan nalar adalah kaki tangan kuasa imanen. Sahut Foucault.

Jika bagi Nietzche pengetahuan dan kebenaran merupakan instrumen kuasa, bagi Foucault kedua entitas mental itu merupakan subordinasi kuasa. Sementara itu di kutub yang bersebrangan kelompok-kelompok fundamentalis yang obskurantis, semisal aliran kreasionisme dari penganut kristen dan Islam serta saintis vedik Hindu memaklumatkan penetangan pula terhadap klaim Universalitas sains modern. Mereka bersekutu untuk melakukan overjudgement terhadap sejumlah teori sains dan pemikiran moderen yang dianggap dapat meruntuhkan keimanan, misalnya teori evolusi yang dengan gegabah meeka identikan dengan Darwinisme. Uniknya, overjudgement ini mereka persepsikan sebagai tugas suci yang hendak mendemonstrasikan keunggulan Tuhan di atas nalar manusia yang berani-beraninya membuat narasi teramat besar tentang perjalanan alam semesta.

Lihat juga : Imajinasi liar yang Menggila

Nalar adalah matahari, seperti yang memberikan kehidupan dimuka bumi ini, demikian pula adalah nalar yang memanusiakan kita. Melalui nalar kita mengenal dunia, memberinya makna dan nama, dan mengolahnya agar sesuai dengan cita rasa kemanusiaan realitas. Kita memanusiakan realitas dan jadilah kita manusia sepenuhnya.Sesuai mempelajari sejarah-sejarah agama, will durant menyimpulkan bahwa setiap kali agama di bunuh, maka ia akan tumbuh dan berkembang lagi dalam sejarah. Agaknya nasib nalar mirip dengan agama, setiap kali nalar dibunuh di sebuah tahapan sejarah dan peradaban maka ia pun bakal tumbuh dan berkembang kembali pada tahapan sejarah berikutnya dilain peradaban. Dengan alasan itulah disarankan bahwa nalar adalah tanggung jawab kemanusiaan, bahwa berpikir adalah tanggung jawab dean merupakan pendayagunaan nalar di atas realitas dunia ini karena selama kita hidup nalar dan imajinasi selalu melekat pada diri kita tergantung pada kemampuan mengembangkanya demi terwujudnya tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah SWT.

Posting Komentar untuk "Imajinasi Tak Berjejak Ancam Padamkan Nalar"