Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Manajemen Terumbu Karang

Manajemen terumbu karang pada pokoknya adalah pengetahuan dan ketrampilan mengatur dan mengontrol penggunaan oleh manusia dan dampak penggunaan tersebut terhadap terumbu karang sehingga tercipta suatu kondisi pemanfaatan yang menguntungkan bagi kelestarian ekosistem dan produktifitas yang berkesinambungan (Kenchington dan Hudson, 1984).

Indonesia telah menyadari pentingnya manajemen terumbu karang yang tepat untuk mengelola terumbu karang di Indonesia. Itu sebabnya, Pemerintah Indonesia di tahun 1998 mencetuskan satu program jangka panjang (15 Tahun) untuk membuat program manajemen terumbu karang di Indonesia (Giyanto et al, 2011).

Kombinasi strategi dari konservasi dan pengembangan pariwisata merupakan salah satu bentuk menajemen terumbu karang yang mengidentifikasi kegiatan ekoturisme di wilayah terumbu karang sebagai sumberdaya yang menjanjikan bagi kesejahteraan masyarakat (Salm et al, 2000 dalam Christie et al, 2003). Aswani et al (2012) menyatakan bahwa telah terjadi perubahan pengelolaan ekosistem, termasuk ekosistem terumbu karang dari pengelolaan berbasis ekosistem ke pengelolaan ekosistem pesisir terintegrasi.

Perencanaan Kawasan yang Dilindungi: Suatu Bentuk Manajemen Terumbu Karang

Perencanaan yang baik merupakan titik tolak bagi keberhasilan manajemen kawasan terumbu karang yang dilindungi, walaupun hanya merupakan suatu alat manajemen. Perencanaan merupakan suatu proses yang berjalan terus; yang meliputi perumusan; penyerahan dan persetujuan dari tujuan manajemen; bagaimana hal ini dapat dicapai dan standar pembanding untuk mengukur keberhasilan. Perencanaan yang baik mengarah kepada manajemen yang baik; perencanaan yang buruk atau tidak adanya perencanaan akan menghalangi keberhasilan manajemen. Tetapi bagaimanapun bagusnya penyajian suatu perencanaan, tidak akan ada nilainya bila perencanaan tersebut tidak praktis atau tidak menghasilkan suatu tindakan yang efektif (Kenchington dan Hudson, 1984).


(Kenchington dan Hudson, 1984) menyatakan bahwa langkah pertama dalam perencanaan harus dimulai dengan perumusan tujuan yang jelas, masuk akal, serta berada dalam kerangka kebijakan otoritas manajemen kawasan yang dilindungi. Perencanaan dapat mencakup dihasilkannya strategi pelestarian regional atau nasional jangka panjang untuk suatu sistem kawasan yang dilindungi, atau skala yang lebih kecil; yaitu suatu pelaksanaan manajemen dalam sehuah kawasan yang dilindungi. Dibawah ini akan dibahas beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam perencanaan penentuan kawasan yang dilindungi.

Perencanaan Studi Kelayakan

Studi kelayakan dan survei pendahuluan lainnya merupakan langkah penting di antara perencanaan nasional berskala besar dan pengembangan cagar yang sebenarnya di lapangan. Kebutuhan akan studi semacam itu akan segera menjadi jelas bagi setiap orang yang terlibat dalam perencanaan. Kepentingan yang mendasar adalah untuk memperoleh jawaban spesifik bagi pertanyaan sebagai berikut : Informasi yang lebih rinci apa yang diperlukan sebelum usulan yang pasti bagi kawasan yang dilindungi dapat dibuat ? Apa nilai khas yang dimiliki suatu kawasan; batas yang paling sesuai; dan untuk kategori mana kawasan yang dilindungi itu ditetapkan ?

Agar berhasil; studi kelayakan ini sendiri harus disiapkan sebaik-baiknya. Studi perlu mempunyai tujuan yang pasti. Tidak ada gunanya untuk melakukan survei itu secara sambil lalu, tanpa tujuan yang jelas dan waktu yang cukup.

Tujuan studi kelayakan sangat beragam tetapi bila dinyatakan secara jelas akan sangat meningkatkan efisiensi survei melalui pendekatan mengamati secara umum. Contoh tujuan studi kelayakan yang jelas adalah: Nilai apakah yang dimiliki terumbu karang ‘A’ sehingga cocok untuk dikembangkan sebagai Taman nasional?

Rencana Manajemen

Sebagai prinsip dasar manajemen kawasan yang dilindungi; sekarang telah diterima bahwa setiap kawasan yang dilindungi perlu memiliki suatu rencana pengelolaan. Rencana manajemen membimbing dan mengendalikan manajemen sumberdaya kawasan yang dilindungi, pemantauan kawasan, serta pengembangan fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatannya. Rencana manajemen akan memudahkan semua kegiatan pengembangan dan semua tindakan manajemen yang diterapkan dalam suatu kawasan.

Pokok dari rencana semacam itu adalah suatu pernyataan mengenai sasaran dan tujuan yang dapat diukur; yang memandu manajemen kawasan tersebut. Sasaran dan tujuan ini membentuk kerangka untuk menentukan tindakan yang diambil, kapan tindakan tersebut dilakukan, serta dana dan tenaga yang diperlukan untuk menerapkannya. Suatu rencana manajemen merupakan alat yang berguna untuk mengidentifikasi kebutuhan manajemen, menetapkan prioritas dan mengorganisasikan pendekatan itu ke masa mendatang.

Dengan mengidentifikasi langkah manajemen yang diperlukan, maka rencana pengelolaan membantu pengelola untuk mengalokasikan dan memanfaatkan sebaik-baiknya staf, dana, perlengkapan; serta material terbatas yang dimiliki. Kemudian rencana manajemen dapat juga berfungsi sebagai alat komunikasi untuk memperoleh pengertian dan dukungan dari masyarakat umum maupun pejabat pemerintah yang relevan. Terakhir, proses perencanaan manajemen dapat menjadi latihan yang penting bagi personalia pengelola. Keterlibatan dalam proses perencanaan membuka wawasan staf terhadap kebutuhan manajemen yang sedemikian banyak, yang akan mengarahkan staf pada pemahaman peranan mereka yang lebih baik.

Proses Rencana Manajemen Kawasan Yang Dilindungi

Walaupun metodologi perencanaan dapat rumit, langkah-langkah dasar dalam prosedur yang ideal diuraikan di bawah ini. Ke 16 langkah yang tercantum mencakup kisaran terluas dari kemungkinan faktor yang dapat dipertimbangkan. Kebutuhan; keterbatasan dan prioritas akan sangat berbeda; tergantung pada situasi dan perencanaan untuk memenuhi keadaan khusus tersebut. Sebagai peringatan bahwa langkah-langkah berikut ini menggambarkan suatu proses pemikiran; suatu cara pengaturan yang akan datang didasarkan pada suatu penilaian sekarang. Oleh sebab itu, hal ini bukanlah merupakan tata nama atau urutan pasti yang penting, melainkan proses dimana seseorang mengevaluasi masalah manajemen suatu kawasan yang dilindungi. Langkah-langkah tersebut adalah :

1) Pembentukan tim perencana

2) Pengumpulan informasi dasar

3) Inventarisasi lapangan

4) Penilaian keterbatasan dan modal

5) Tinjauan hubungan antar wilayah

6) Uraian tujuan dari kawasan

7) Pembagian kawasan ke dalam zona manajemen

8) Pengkajian batas-batas kawasan

9) Desain program manajemen

- Manajemen dan perlindungan sumberdaya

- Pemanfaatan oleh penduduk

- Penelitian dan pemantauan

- Administrasi

10) Siapkan pilihan pengembangan terpadu

11) Uraikan implikasi biaya

12) Siapkan dan bagikan suatu konsep rencana

13) Analisis dan evaluasi rencana

14) Desain jadwal dan prioritas

15) Siapkan dan publikasikan rencana

16) Pemantauan dan perbaikan rencana

Penetapan Zonasi

Penetapan zonasi adalah proses penerapan berbagai tujuan dan peraturan manajemen ke dalam berbagai bagian atau zona suatu kawasan dilindungi. Jelas bahwa yang dapat dipertimbangkan hanyalah yang benar-benar dapat diterapkan pada cagar tertentu, yaitu yang disebut dalam tujuan manajemen, misalnya taman nasional pada suatu kawasan terumbu karang. Tipe zona berikut ini digunakan dalam berbagai kwasan yang dilindungi;

Zona suaka (inti)

Pengunjung tidak diperkenankan masuk, jenis penelitian mungkin dibatasi dan hanya tindakan manajemen yang benar-benar penting bagi perlindungan boleh dilakukan, misalnya memantau kondisi cagar ).

Zona alam

Pemanfaatan secara terbatas oleh pengunjung dibolehkan, tetapi manajemen terutama ditujukan pada pemeliharaan alam yang tidak terganggu, atau pada tingkat keseimbangan yang diiginkan, atau status quo alamiah.

Zona pemanfaatan semi intensif oleh pengunjung

Manajemen memperhatikan agar pengunjung memperoleh pemandangan alam optimum

Zona pengelolaan satwa

Dimana manipulasi khas yang menguntungkan spesies terpilih dapat dilakukan.

Zona pemanfaatan intensif

Dimana dampak kegiatan manusia memang telah diperkirakan, dan tujuan rekreasi serta administratif lebih utama dibandingkan tujuan perlindungan menjadi:

a. Zona pemanfaatan khusus

b. Zona pemulihan

c. Zona penangkapan ikan

d. Zona pemanfaatan tradisonal

Zona penyangga

Dimana manajemen ditujukan untuk mengu- rangi benturan antara penggunaan laut yang tidak sesuai antara cagar dan kawasan yang berdekatan.

Pemilihan Bentuk Manajemen Terumbu Karang

Sasaran Manajemen terumbu karang

Sasaran manajemen dinyatakan :

- Untuk memelihara suatu daerah dari terganggunya alam oleh manusia, kecuali untuk tujuan penelitian ilmiah.

- Untuk melindungi suatu daerah kritis bagi kehidupan yang membahayakan spesies

- Untuk memberi kesempatan menikmati karang melalui pengaruh penangkapan dan pengumpulan

- Untuk memberi bentuk kelayakan penggunaan suatu kawasan

- Untuk memberi suatu hasil panen lestari pada ikan karang dan sumberdaya lainnya.

Proses menentukan sasaran manajemen adalah dengan mendeterminasi apakah seluruh daerah dapat dikelola, atau apakah suatu sistem penentuan zona akan digunakan, dan menentukan perbedaan aktivitas melalui sasaran manajemen tidak dapat diterapkan pada waktu yang sama untuk keseluruhan kawasan, maka :

Sasaran 1

memberi kesempatan untuk memenuhi nafkah hidup dari penangkapan

Sasaran 2

memperkenalkan perikanan komersil untuk ekspor

Sasaran 3

memelihara terumbu karang yang tidak terganggu oleh manusia.

Tiga sasaran ini tidak dapat diterapkan secara bersama pada daerah terumbu karang yang sama; sehingga ada pedoman penerapannya, yakni :

Tujuan 1

memberi kesempatan untuk memenuhi nafkah hidup dari penangkapan ;sampai 10 km dari desa perkampungan masyarakat

Tujuan 2

memperkenalkan perikanan komersil untuk eksport ; untuk daerah yang tidak dialokasi dalam memenuhi nafkah hidup masyarakat melalui penangkapan atau daerah yang dilindungi

Tujuan 3

memelihara terumbu karang yang tidak terganggu oleh manusia

Untuk memenuhi sasaran dan tujuan manajemen di atas, maka langkah pokok dalam pengembangan suatu rencana manajemen adalah pemberian batasan dari tujuan. Kenchington dan Hudson (1984) menyatakan bahwa suatu tujuan; melukiskan keadaan atau kondisi yang harus ada sebagai konsekuensi pelaksanaan rencana yang efektif. Tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Memelihara ekosistem terumbu karang dalam rangka menjamin keutuhan dengan rnenjaga keaslian fauna, flora, dan lingkungan serta mempertahankan nilai keindahan.

2. Memaksimalkan kesempatan untuk eksploitasi (perikanan) dan menyediakan panen yang berkelanjutan dari sumberdaya.

Berdasarkan tujuan tersebut ada beberapa pendekatan dasar yang harus dipertimbangkan yaitu :

1. Pewilayahan.

2. Penutupan dan pembukaan kembali suatu area untuk periode pemanfaatan.

3. Penetapan eksploitasi yang berkesinambungan dan melarang untuk ditingkatkan bila telah tercapai taraf yang dimungkinkan,

4. Pelarangan atau pembatalan alat dan cara penangkapan tertentu,

5. Menentukan batas ukuran dari spesies yang dipanen.

Berikut ini disajikan uraian mengenai pendekatan- pendekatan tersebut :

Pewilayahan

Tahun 1999, pemerintah Indonesia telah menetapkan UU No. 22 sebagai dasar dari pewilayahan pesisir dan laut (Bengen, 2004).

Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi terumbu karang dimaksudkan untuk menjamin kelestarian manfaat dari terumbu karang. Kawasan konservasi dapat ditentukan dengan konsep pembentukan cadangan laut atau taman laut, Sasaran pembentukan suatu cadangan laut dan taman laut dapat bersifat fungsional di mana pemanfaatan boleh diijinkan asalkan tidak mengganggu fungsi yang terdapat dalam ekosistem dan bersifat preservasional dimana kawasan tersebut dilindungi dari pemakaian manusia.

Menurut Alcala dan White (1984), pemilihan wilayah untuk suatu cadangann dilakukan dengan mula-mula mengidentifikasi tipe cadangan kemudian menetapkan wilayahnya dengan memperhatikan sumberdaya penduduk dan pemerintahnya, Tipe-tipe cadangan yang dimaksud adalah mengikuti sistem kategori internasional yaitu cagar alam/cagar ilmiah, taman nasional, monumen alam, suaka margasatwa, bentangan alam dan laut dilindungi, cagar sumberdaya, cagar budaya, kawasan pengelolaan manfaat ganda/kawasan sumberdaya dikelola, cagar biofir, dan taman warisan dunia. Masing-masing tipe cadangan ini memiliki tujuan tertentu, berdasarkan ciri khas dari tiap kawasan. Untuk kawasan ekosistem terumbu karang, tidak semua sistem kategori dipakai, tetapi disesuaikan dengan kondisi umum kawasan itu berada. Cadangan Biosfir

A1. Taman Laut

A2. Monumen Budaya

A. Cadangan spesies, habitat dan ekosistem

Bl. Cadangan biologis

B2. Cadangan satwa liar

B3, Cadangan sumberdaya

B. Cadangan sektoral

Cl. Wilayah panen yang berkesinambungan

C2. Wilayah manajemen perikanan

C3. Wilayah kontrol kualitas air

C4. Wilayah manajemen pariwisata

C5. Skema manajemen wilayah pantai

Cadangan biosfir ini dimaksudkan untuk melindungi keanekaragaman biotik, Kriteria pemilihan untuk cadangan biosfir adalah memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi, endemisme, kekompleksan ekosistem; keunikan komposisi spesies, dan variasi kekayaan spesies (Alcala dan White; 1984). Ancaman bahaya yang umum merupakan alasan dasar penetapan cadangan tersebut. Daerah manajemen wilayah pantai, wilayah panen hasil berkesinambungan, wilayah manajemen pariwisata, wilayah manajemen kualitas air; dan wilayah manajemen perikanan merupakan contoh dari manajemen sektoral. Pencemaran hidrokarbon; sampah; sedimentasi, limbah industri dan pertanian, over fishing dan metoda penangkapan yang merusak merupakan alasan yang mendesak bagi penetapan cadangan tersebut.

Taman laut dapat merupakan kombinasi dari berbagai tipe cadangan. Dengan demikian daerah taman laut dan peruntukannya lebih luas. Kriteria pembentukan taman laut menurut IUCN (1969) yang dilaporkan oleh direktorat PPA adalah:

a. Mencakup satuan luas yang representatif dari suatu ekosistem yang keadaan alamnya secara fisik tidak mengalami perubahan oleh manusia dengan jalan eksploitasi atau kegiatan lainnya.

b. Terdapat ragam biota dengan habitatnya serta tempat dari segi morfologi mempunyai arti untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi dan pariwisata.

c. Daerah yang mempunyai keindahan alam hayati khusus (kekhasan baik floran dan fauna serta ekosistemnya).

d. Jika dalam kelompok pulau-pu1au untuk kepentingan taman laut, perlu secara efektif memilih di antara pulau-pulau tersebut berdasarkan keadaan a1am yang asli dalam formasi flora dan fauna serta tanahnya.

Daerah taman laut diperkenalkan untuk dimasuki oleh pengunjung untuk kepentingan ilmu dan pendidikan. Tabel 01 terlihat adanya tumpang tindih antara tujuan berbagai kategori cadangann, demikian pula wilayahnya. Namun setiap negara memiliki variasi penamaan dan klasifikasinya masing-masing. Di Indonesia, cadangan seperti pada tabel 01 belum sepenuhnya dibina. Akan tetapi saat ini sedang dikembangan kawasan konservasi laut.

Kawasan tersebut adalah

1. Suaka Alam Laut, yaitu kawasan laut yang karena keadaan dan sifat fisiknya perlu dibina dan dipertahankan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alamnya bagi keberadaan plasma nutfah, kepentingan ilmu pengetahuan dan wisata. Suaka alam laut dapat dibedakan atas cagar alam laut dan suaka marga satwa laut.

2. Taman Wisata laut, yaitu kawasan laut yang karena sifat wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan dengan maksud untuk mengembangkan pendidikan, rekreasi dan olahraga.


3. Daerah perlindungan plasma nutfah perairan, yaitu kawasan laut yang karena sifat dan keadaan fisiknya perlu dibina dan dipertahankan bagi kepentingan pelestarian plasma nutfah perairan dan keseimbangan pemanfaatannya yang tidak merusak lingkungan.

Wilayah untuk kegiatan yang cocok

Untuk mendapatkan penggunaan yang efektif dan tidak merusak lingkungan terumbu karang yang luas, termasuk bagi kawasan konservasi, diusahakan wilayah yang cocok bagi kegiatan yang mungkin dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Wilayah untuk kegiatan itu dapat ditentukan dengan mengetahui uraian yang lengkap mengenai keberadaan terumbu karang. Penilaian lokasi yang diperuntukan bagi kegiatan-kegiatan tersebut dapat ditunjukan dengan skala (Kenchington dan Hudson, 1984)

4 - sangat cocok

3 - cocok

2 - hampir cocok

1 - tidak cocok

Tahap perencanaan dapat dilakukan dengan membuat peta. Beberapa hal berikut ini perlu dicantumkan dalam peta:

a. Distribusi karang

b. Aksesibilitas penggunaan manusia

c. Tempat penangkapan dan penggunaan lainnya

d. Tempat penyelaman

e. Tempat pemijahan dari spesies tertentu

f. Arah arus air pasang di dalam daerah itu

g. Arah arus yang membawa air ke dalam daerah itu

h. Tempat penambatan yang aman dalam segala cuaca

Penutupan area

Penutupan secara priodik untuk penangkapan dapat dibagi atas : penutupan sementara yang lebih kecil dari satu tahun; dan mungkin juga periode yang lebih besar dari satu tahun. Alcala ( 1984) menyatakan bahwa memang baru sedikit riset moderen yang dilakukan tentang efek dan periode yang tepat dari penutupan area, tapi terdapat indikasi bahwa konsep penutupan daerah berguna untuk peningkatan pemanenan spesies.

Suatu alternatif, penutupan area secara priodik dimaksudkan untuk memberi perlindungan pada waktu tertentu saat musim pijah. Jadi area-area tertentu perlu ditutup untuk memungkinkan suatu pemijahan yang efektif berlangsung dan hewan-hewan pijah bisa menyebar ke lokasi feeding mereka.  Penerapan metode seperti ini dilakukan dengan memahami tingkah laku pijah spesies tersebut. Menurut Alcala dan White (1984); agar metode ini efektif maka mutlak bagi mereka yang terkena pengaruh penutupan sadar dan mengerti tentang hal tersebut oleh sebab itu penyuluhan bagi para pemakai merupakan hal yang penting sekali.

Pembatasan Eksploitasi

Penangkapan ikan dan pengambilan sumberdaya bentik di daerah terumbu karang apabila dilakukan dengan tidak memperhatikan kelestariannya akan menjurus ke arah eksploitasi yang berlebihan. Pengguanaan alat tangkap yang efektif disertai dengan kurangnya pengertian akan biologi dari flora dan fauna yang ada bisa mengakibatkan kelangkaan sumberdaya. Akibat yang ditimbulkan akan langsung dirasakan oleh masyarakat nelayan atau penduduk yang menghuni pulau-pulau karang.

Eksploitasi yang berlebihan dari fauna dan flora akan mengakibatkan kerusakan habitat pada ekosistem terumbu karang. Hilangnya suatu jenis biota dalam ekosistem ini akan berpengaruh pada keseimbangan ekosistem ini. Besar kecilnya pengaruh yang ditimbulkan tergantung dari peranan biota tersebut dalam ekosistem yang bersangkutan. Eksploitasi terhadap karang batu sebagai komponen utama dalam terumbu karang akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan setempat. Contoh yang lain dikemukakan oleh Endean (1973) bahwa eksploitasi yang berlebihan terhadap moluska Charonia tritonis di Great Barieer Reef menyebabkan terjadi ledakan populasi bintang laut pemakan polip karang (Acanthaster plancii) yang berakibat kematian karang batu pada areal yang luas karena aktifitas makan hewan tersebut. Untuk menghindari adanya eksploitasi yang berlebihan dari spesies-spesies tertentu, perlu diketahui batas eksploitasi yang berlebihan dari spesies-speseies tertentu dan batas eksploitasi yang berkesinambungan.

Pembatasan dan pengaturan alat dan cara penangkapan

Metoda penangkapan yang dilakukan dengan cara yang tidak bijaksana hanya menyebabkan kelebihan tangkap, tetapi berakibat timbulnya kerusakan yang pada gilirannya memperburuk kemampuan lingkungan dalam mendukung hasil perikanan. Seperti diketahui bahwa karang sangat peka terhadap gangguan fisik maupun terhadap perubahan kimia air; dimana hal ini antara lain disebabkan oleh metoda penangkapan tertentu.

Beberapa contoh mengenai metoda penangkapan yang merusak adalah penggunaan bahan kimia beracun, penggunaan bahan peledak, dan beberapa cara yang menggunakan jaring, bubu dan panah yang dilakukan secara tidak bijaksana.

Penangkapan dengan bahan kimia beracun, misalnya potas dapat menyebabkan ikan-ikan mabuk dan kemudian mati lemas, dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, metabolisme berbagai biota yang hidup. Penangkapan dengan bahan peledak biasanya mengguanakan dinamit atau bahan yang dibuat dari karbit (Ca2C). Akibat yang di timbulkan oleh bahan peledak ini, ikan-ikan dari semua kelas umur serta banyak invertebrata mati terbunuh dan karang akan hancur dalam radius beberapa meter; tergantung kekuatan bahan peledak.

Batas ukuran ikan yang dipanen

Eksploitasi yang rasional harus membiarkan sejumlah induk ikan yang mempunyai ukuran sama atau lebih besar daripada ukuran ikan tersebut pada waktu mencapai tingkat kematangan gonad. Karena itu ukuran ikan yang telah matang gonadnya penting diketahui untuk menentukan batas ukuran yang sebaiknya ditangkap.

Pengintegrasian Kegiatan yang Tidak Langsung Berhubungan dengan Terumbu Karang

Kegiatan manusia yang secara langsung memanfaatkan potensi di daerah terumbu karang, seperti eksploitasi perikanan, rekreasi, dan lain-lain, secara teoritis terjangkau oleh pendekatan-pendekatan yang dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Akan tetapi yang sulit ditangani adalah dampak-dampak kerugian yang muncul akibat kegiatan-kegiatan yang tidak memiliki ketergantungan kepentingan pada ekosistem terumbu karang. Misalnya pencemaran oleh limbah domistik, limbah industri yang berasal dari daratan, pencemaran akibat kecelakaan kapal atau operasi kapal-kapal, pembuatan bangunan di sekitar terumbu karang.

Pada dasarnya dampak tersebut, terutama muncul karena adanya kegiatan ekonomi, seperti pertanian, perindustrian, dan perhubungan. Jadi dalam hal ini terjadi konflik kepentingan antara kegiatan ekonomi tersebut dengan pemeliharaan terumbu karang. Namun hal tersebut sedikitnya dapat diatasi bila perencanaan berwawasan lingkungan disertakan dalam awal pengembangan proyek kegiatan-kegiatan tersebut dan diikuti dengan peraturan-peraturan yang bijaksana.

Oleh karena itu dalam pengembangan rencana manajemen pengintegrasian kegiatan di daratan, dan tataguna laut harus ada sehingga dampak yang merugikan ditekan serendah mungkin.

Pemantauan Kondisi Terumbu Karang

Untuk mengetahui apakah terumbu karang berada dalam kondisi yang baik atau apakah terumbu karang terancam oleh faktor sedimentasi, kelebihan tangkap, eutrofikasi karena membanjirnya limbah, kontaminasi oleh minyak, pestisida, dan lain-lain, diusahakan adanya kegiatan pemantauan. Yap dan Gomes (1984) menyatakan bahwa maksud pemantauan kondisi karang adalah untuk menemukan perubahan dan penyimpangan kondisi terumbu karang dari keadaan normal. Penyimpangan tersebut menandakan adanya tekanan terhadap terumbu karang. Maksud lain dari pemantauan adalah mengetahui perubahan ke arah perbaikan dari keadaan semula.

Faktor-faktor fisik-kimia serta komponen biologi adalah hal pokok yang harus dipantau. Faktor fisik-kimia, seperti arus, suhu, sedimen, salinitasi, turbiditas, dan lain- lain. Metode pengukuran dari faktor-faktor ini telah umum diketahui. Uraian di bawah ini difokuskan pada monitoring untuk komponen biologi.

Secara biologis tanda-tanda berikut ini dapat dijadikan indikasi kondisi terumbu karang yang kurang baik :

a. Mortalitas alami besar. Kemerosotan laju pertumbuhan.

b. Perubahan tingkah laku feeding

c. Penurunan keanekaragaman dan kepadatan (terutama spesies bentik)

Yap dan Gomes (1984) menyatakan bahwa ikan, makroalga bentik dan karang batu dapat dipakai sebagai indikator utama dalam pemantauan. Ikan dipakai sebagai organisme indikator karena banyak aspek biologisnya dan tingkah lakunya dapat dipakai untuk melihat kecocokan terhadap habitatnya. Karena sifatnya yang dapat bergerak ikan cenderung memilih kondisi yang lebih menguntungkan.

Makrobentik sangat sensitif terhadap beberapa faktor fisika-kimia, sehingga dapat dipakai sebagai organisme indikator dalam menilai terumbu karang. Alga dapat memberikan respons yang lebih baik dan cepat dalam pertumbuhan, mortalitas dan lain-lain, terhadap fluktuasi lingkungan.

Sebagai komponen utama dalam formasi terumbu karang, maka catatan mengenai karang mutlak diperlukan dalam penelitian terumbu karang. Biasanya yang dipantau mengenai karang adalah total tutupan dan keanekaragamannya. Metode yang umum digunakan untuk melihat kondisi karang (total tutupan) dan keanekaragamannya adalah transek garis, kuadrat dan papan manta. Yap dan Gomes mengkategorikan terumbu karang berdasarkan total tutupan karang hidup Yap dan Gomes (1984), sebagai berikut :

a. Sangat baik: jika total tutupan 75 - 100 %

b. Baik Jika total tutupan 50 74,9 %

c. Cukup Jika total tutupan 25 49,9 %

d. Buruk jika total tutupan 0 24,9 %

Pelaksanaan Manajemen Terumbu Karang

Manajemen adalah pelaksanaan sesungguhnya dari kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan pemeliharaan ekosistem terumbu karang. Hal ini tidaklah terjadi secara spontan, melainkan perlu dirancang secara sadar dan dilaksanakan agar memberi manfaat untuk mencapai tujuan penetapan kawasan pemeliharaan.

Pengelola kawasan terumbu karang yang dilindungi adalah orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan ini. Dalam mengelola kawasan yang dilindungi ia diarahkan oleh status yang sah dalam kawasan itu maupun oleh kriteria perlindungan serta tujuan pengelolaan yang dinyatakan dalam rencana pengelolaan. Pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan memerlukan suatu komitmen pengelola dan stafnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bagi kawasan tersebut. Tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaan dibahas berikut ini.

Alokasi Tugas dan Pemilihan Staf

Pengelola taman mungkin akan senang hila ia dapat memillih stafnya sendiri, tetapi sering ia hanya mewarisi staf pengelola yang telah ada. Ia harus menilai kekuatan dan kelemahan mereka dan menempatkannya pada tugas yang sesuai dengan kecakapannya. Bila memiliki sejumlah besar staf, tugas ini mungkin jatuh kepada pejabat yang khusus mengurus tenaga kerja. Dalam kasus manapun, tanggung jawab akhir atas prestasi staf terletak pada pengelola, dan ia harus mencoba melakukan kontak pribadi dengan semua stafnya serta melibatkan diri dalam pemilihan personalia. Dalam menempatkan staf ke dalam kedudukan dan tugas-tugasnya pengelola sebaiknya rnempertimbangkan sejumlah faktor :

1. Tingkat pendidikan, ketrampilan, dan kemampuan.

2. Sikap kerja, kemampuan mengikuti perintah dan memikul tanggung jawab.

3. Kapasitas mengambil suatu tindakan

4. Sifat dapat dipercaya, kejujuran, dan keberanian.

5. Hubungan pribadi (kemampuan bekerja sama).

6. Prestasi kerja sebelumnya.

7. Status perkawinan dan jumlah anak, keterikatan dengan rumah, keluarga.

8. Kesan dan penampilan pribadi.

Berdasarkan informasi ini, pengelola harus mengalokasikan tugas tanpa pilih kasih.

Manajemen Staf

Mengingat kawasan yang dilindungi biasanya terlalu luas dan jauh bagi seseorang untuk mengawasinya sendiri pengelola harus mendelegasikan urusan rutin kepada stafnya. Efisiensi staf dan cara melakuan pengelolaan akan tercermin melalui proses jalannya pekerjaan di seluruh cagar . Pengelolaan setiap kawasan dilindungi perlu membina staf agar berdisiplin, efisiensi, bermotivasi baik dan setia. Butir- butir yang penting adalah sebagai berikut :

1) Displin.

2) Menggalakkan penampilan baik.

3) Menjaga moral dan semangat tim

4) Kesejahteraan staf. Bila mungkin pengelola kawasan dilindungi sebaiknya menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi staf dan keluarganya.

5) Hadiah dan insentif. Pelaksanaan tugas yang baik harus dirangsang oleh sistem intensif dan hukuman yang adil.

Pelaporan

Pelaporan merupakan hal mendasar bagi terselenggaranya administrasi yang efektif. Pelaporan menjamin agar pekerjaan dapat selesai pada waktunya membina sumber informasi berharga yang terdokumentasi secara sistimatis, melindungi pelapor dan menyediakan bukti bila diperlukan.

Bentuk pelaporan dapat bermacam-macam, termasuk penyerahan buku catatan tulisan tangan, dokumentasi foto, laporan lisan, pelaporan melalui radio, laporan tertulis formal, evaluasi personil, serta perpustakaan dan perlengkapan buku kas induk. Walaupun pelaporan merupakan hal yang penting, tetapi pelaporan memerlukan tindak lanjut. Pelaporan tidak boleh terlalu banyak memakan waktu staf yang berharga dan sebaiknya dibuat disain pelaporan yang baku untuk dapat mempersingkat waktu yang digunakan untuk menulis dan membaca laporan serta membuatnya lebih mudah untuk dievaluasi.

Pengawasan Penggunaan Sumberdaya

Di kawasan yang dilindungi, seperti terumbu karang, berbagai tipe pemanfaatan atau pemungutan hasil diperkenankan. Pengawasan yang ketat perlu dilembagakan untuk menjamin tidak terjadinya kompromi antara sumberdaya yang digunakan dan tujuan lainnya dari kawasan yang dilindungi. Umumnya diperlukan adanya sistem kuota untuk membatasi pemanfaatan, sistem perizinan untuk mengawasi orang masuk dan suatu sistem untuk mengawasi kedua-duanya.

Pemungutan hasil populasi liar dibatasi pada kapasitas produksi populasi yang dapat mentolerir pemungutan hasil dan mungkin lebih penting lagi - kemampuan otorita pengelola, karena dalam prakteknya proporsi yang dapat dipanen dalam sistem yang diatur alam tidak begitu tinggi. Tingkat pemungutan hasil yang tinggi biasanya hanya dapat dicapai dengan memanipulasi sistem, misalnya dengan memanipulasi habitat atau mengurangi faktor kematian spesies yang bersangkutan. Penentuan optimal dari suatu pemungutan hasil atau pengambilan tahunan merupakan proses yang rumit.

Masalah utama dengan kuota adalah anggapan bahwa kuota merupakan target yang harus dicapai untuk menjamin agar kuota tahun berikutnya sama atau lebih tinggi. Ini dapat menciptakan lingkaran setan di mana pemungutan hasil bekerja lebih keras untuk mencapai kuota yang ditentukan, yang mengakibatkan sumberdaya makin menipis, yang pada akhirnya akan merugikan pemungut hasil itu sendiri. Kuota perlu ditetapkan setahun sekali dan dipantau secermat-cermatnya.

Pada umumnya lebih baik untuk memulai dengan kuota yang rendah karena akan selalu dapat ditingkatkan, tetapi suatu populasi yang dipungut secara berlebihan tidak selalu dapat pulih kembali. Walaupun kuota ditetapkan pada tingkat aman yang rendah, perlu dipantau secermat mungkin untuk menghindari pemungutan secara berlebihan, sesuatu yang secara ekologi maupun ekonomi akan merusak lembaga. Gejala umum yang disebabkan terlalu tingginya suatu kuota dan tanda bahwa suatu populasi dipungut secara berIebihan adalah :

1) Hilang atau berkurangnya jumlah populasinya secara jelas

2) Meningkatnya jarak tempuh mencari sumberdaya.

3) Meningkatnya unit usaha yang diperlukan untuk mengumpulkan sumberdaya.

4) Hasil panen yang menurun.

5) Menurunnya kondisi, ukuran dan umur individu rata-rata dalam populasi yang dipanen.

Faktor-faktor ini perlu dipantau untuk menjamin agar bila diperlukan kuota dapat dikurangi atau dihentikan sama sekali. Walaupun secara teoritis suatu populasi dapat dipanen terus-menerus namun bila pengelola tidak mampu mengawasi pemungutan hasil maka kuota perlu dihapus sama sekali.

Evaluasi Keefektifan Manajemen

Evaluasi keefektifan manajemen harus menjadi proses kesadaran yang bertujuan menilai kemajuan yang diarahkan untuk mencapai tujuan manajemen jangka pendek dan panjang. Pendekatan untuk mengevaluasi keefektifan akan berbeda menurut keadaan, tetapi merupakan hal yang bijaksana apabila dapat dijamin agar seluruh program pengelolaan memiliki sumberdaya memadai yang dapat memungkinkan pengelola, atasan dan sponsor menilai keefektifan dan kesesuaian tindakannya.

Secara pragmatis ada beberapa keuntungan utama yang berasal dari evaluasi keefektifan manajemen:

a) Menentukan apakah kebijakan dan tujuan rencana pengelolaan akan dapat dicapai dan apakah dalam kenyataan hal ini benar-benar realistis.

b) Menilai apakah sumberdaya manusia dan keuangan yang diberikan untuk maksud ini memadai guna mendapatkan hasil yang diharapkan.

c) Melaporkan kemajuan kepada otorita yang lebih tinggi, termasuk mereka yang mendukung program pengelolaan dan yang berminat dalam pelaksanaanya.

d) Memberi wawasan mengenai manfaat yang dapat diperoleh dari suatu kawasan dilindungi pada tingkat lokal, regional dan nasional.

e) Membantu persiapan program manajemen untuk tahun depan.

f) Membantu mengevaluasi kontribusi kawasan yang dilindungi kepada tujuan pelestarian nasional dan internasional.

g) Membantu menyempurnakan seni manajemen pelestarian.

Evaluasi keefektifan manajemen adalah sulit atau tidak mungkin dilakukan apabila hal ini tidak dapat diukur sesuai tujuan manajemen yang jelas. Kecuali jika seseorang pengelola mengetahui apa yang diharapkan melalui pengelolaan, ia tidak mempunyai cara lain untuk menentukan baik-buruknya program yang dilaksanakan. Bermacam-macam pendekatan dapat digunakan untuk mengevaluasi keefektifan manajemen , yaitu evaluasi sendiri, evaluasi oleh otorita dan penilaian bebas oleh ahli dari luar.

Kebijakan, Hukum Dan Administrasi Untuk Mengelola Kawasan Yang Dilindungi

Kebijakan, hukum dan administrasi kawasan terumbu karang yang dilindungi, merupakan aspek yang saling berkaitan dan berpengaruh terhadap keberhasilan manajemen jangka panjang dari kawasan yang dilindungi. Ketiga hal tersebut melibatkan banyak segi antara bidang ilmu pengetahuan yang terpadu untuk mencapai tujuan yang jelas, perencanaan yang efektif, pelaksanaan yang kompeten, dan di atas segalanya. dukungan dan peran serta masyarakat.

Bagian ini dibagi menjadi empat komponen, yaitu kebijakan menyeluruh, 1egislasi, administrasi dan perluasan peran serta dalam pengeloaan kawasan yang dilindungi. Kebijakan yang baik yang dilandasi oleh pengkajian ekologi dengan kombinasi faktor ekonomi, sosial dan politik harus meletakkan sasaran kawasan yang dilindungi sebagai bagian integral perencanaan pembangunan. Mekanisme 1egislatif harus konsisten dengan kebijakan kawasan yang dilindungi sebagai bagian integral perencanaan pembangunan, terutama yang mengarah kepada kebutuhan program yang khusus dalam administrasi, pengelolaan dan penegakan hukum. Kelembagaan yang kuat dan kompeten untuk mengatur program dan hukum kawasan yang dilindungi merupakan unsur kunci yang ketiga untuk pengelolaan yang efektif. Akhirnya, peningkatan usaha untuk memperluas peran serta seluruh individu dan kelompok yang berminat serta menaruh perhatian dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi dapat memberi kesempatan terbaik dalam memperbaiki keberhasilan jangka panjang program kawasan yang dilindungi, dimana masalahnya kebijakan yang berkaitan dengan kawasan yang dilindungi.

Beberapa produk undang-undang dan peraturan yang berhubungan dengan manajemen sumberdaya terumbu karang, yaitu :

1. PP no 60 th 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan

2. UU no 26 2007 Tentang Penataan Ruang

3. UU no 31 th 2004 Tentang Perikanan

4. PERMEN KP 17 2008 Tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

5. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

6. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil

Kebijakan Pelestarian Nasional

Dasar legislasi yang tanggap dari kewenangan administrasi bagi kawasan yang dilindungi harus terdapat dalam kebijakan nasional mengenai pelestarian dan pengembangan sumberdaya, kebijakan semacam itu dapat tertulis di dalam undang-undang secara nasional, termasuk dalam legislasi atau dinyatakan dalam program dan manifesto pemerintah, kebijakan pelestarian nasional harus mencakup suatu pernyataan mengenai tanggungjawab bangsa terhadap pemanfaatan sumberdaya alam milik bangsa secara berkelanjutan, termasuk perlindungan wakil-wakil ekosistem dan spesies melalui suatu program manajemen kawasan yang dilindungi.

Kebijakan Kawasan yang Dilindungi

Di setiap negara, kebijakan mengenai kawasan yang dilindungi harus dikembangkan dalam program nasional secara menyeluruh. Sebagai tambahan, tiap-tiap kawasan yang dilindungi mungkin diarahkan melalui pertimbangan kebijakan yang khas.

Pertimbangan ini mungkin merupakan dasar bagi tujuan dan sasaran tertentu. Sebagai contoh, beberapa kawasan mungkin ditetapkan terutama bagi kepentingan penelitian ilmiah atau untuk pengawetan suatu ekosistem atau spesies yang terancam punah. Kawasan lain mungkin melayani kombinasi berbagai tujuan termasuk rekreasi dan perlindungan nilai-nilai budaya. Petunjuk kebijakan bagi tiap-tiap kawasan mungkin berkaitan dengan bangunan jalan dan kegiatan pembangunan lainnya yang berhubungan dengan kawasan tersebut. Masing-masing kawasan memiliki peranan dan dasar kebijakan tertentu yang ada dalam lingkup kebijakan menyeluruh dari program nasional atau sub-nasional. Definisi kebijakan tiap-tiap kawasan juga penting untuk mengarahkan unsur-unsur hukum dan administrasi wilayah tersebut.

Berdasarkan pengertian manajemen, yaitu kemampuan untuk memecahkan permasalahan dalam memanfaatkan suatu sumberdaya dengan pengetahuan dan ketrampilan mengatur, mengontrol, penggunaan oleh manusia dan dampaknya terhadap terumbu karang, untuk menciptakan penggunaan yang menguntungkan bagi kelestarian dan produksi berkesinambungan, maka faktor-faktor kunci yang harus diperhatikan dalam manajemen terumbu karang adalah mengetahui dengan benar karakteristik/keberadaan terumbu karang. Beberapa faktor yang harus lebih diperhatikan adalah teknik manajemen dan monitoring, penerapan kebijakan, hukum, dan administrasi serta peran penduduk setempat.

Pengelolaan ekosistem, termasuk ekosistem terumbu karang telah berubah dari pengelolaan berbasis ekosistem ke pengelolaan ekosistem pesisir terintegrasi. kebijakan, hukum dan administrasi kawasan terumbu karang yang dilindungi, merupakan aspek yang saling berkaitan dan berpengaruh terhadap keberhasilan manajemen jangka panjang dari kawasan yang dilindungi.

DAFTAR PUSTAKA

Alcala, A. C., dan A. T. White, 1984. Option for Management dalam Management Handbook Coral Reef UNESCO-ROSTSEA. Jakarta.

Anonim, 1993. Monitoring Coral Reefs for Global Change. United Nation Environment Product.

_______, 1997. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Berbasis Masyarakat Dalam Coremap. Lembaga Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. 30 Halaman.

_______, 1998. Penyelamatan Terumbu Karang Indonesia : Berpacu Dengan Waktu. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP). 6 Halaman.

Bengen, D.G., 2004. Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. 106 halaman.

Christie, P., D. Makapedua and Ir. L.T.X. Lalamentik. 2003. Bio-physical impacts and links to Integrated Coastal Management sustainability in Bunaken National Park, Indonesia. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources special edition 1:1-22.

Endean, R., 1973. Population Explosion of Acanthaster placi and Associated Destruction of Hermatypic Corals in the Indo-West Pacific Region. Dalam Biology abd Geologi of Coral Reef. Vol II.Biol.1. Academic Press.

Giyanto and P. Swasti, D.A. Hakim, 2011. Coral Reef Management Information System : Integrated Management on Coral Reef Under Coremap. (1) 1: 65-74.

Huffard C.L., M.V. Erdman, Tiene Gunawan, 2012. Geographic Priorities For Marine Biodiversity Conservation in Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan Marine Protected Areas Governance Program. 115 page.

Kenchington R.A., B.E.T. Hudson, 1984. Coral Reef Management Hand Book, Great Barrier Reef Coral Marine Partk Authority, Unesco.,

Mapstone G.M., 1990. Reef Corals and Sponges of Indonesia. Indonesian Institute of Science and Netherland Marine Research Foundation. 63 p.

Shankar Aswani, Patrick Christie, Nyawira A. Muthiga, Robin Mahon, Jurgenne H. Primavera, Lori A. Cramer, Edward B. Barbier, Elise F. Granek, Chris J. Kennedy, Eric Wolansky, Sally Hacker. The Way Forward With Ecosystem-Based Management in Tropical Context : Reconciling With Existing Management Systems. Marine Policy Journal 36: 1-10.

Suharsono, 1996. Jenis-jenis karang yang Umum DiJumpai di Indonesi. Lembaga Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. 116 Halaman

Wilkinson, C. 1998., Status of Coral Reefs of The Word. Australian Institute Marine Science.

Yap, H.T., dan E. D. J Gomes, 1984. Coral Reef Degradation and Pollution in the East Asian Seas Region. UNEP Region Seas Report and Studies No. 69.

Posting Komentar untuk "Manajemen Terumbu Karang"