Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah dan Mempelajari Sistem KUHP Indonesia

Jaman sekarang ini sudah semakin modern, namun dengan jaman tersebut terkadang kita sebagai pelajar dan para penikmat teori hukum, kekinian banyak mengadopsi dan memaparkan teori, dan praktek hukum yang masi juga berbeda tafsir seperti bergulat pada beragam teori yang diadopsi pada perspektif dan analisis teori dan praktik hukum.

Terkadang juga tak bisa dipungkiri bahwa, dengan adanya beragam konsep yang kita pelajari itu, adalah kenikmatan tersendiri. Kenikmatan yang kian lama, kian tidak menyadari bahwa konsep dan praktik hukum yang dijalankan, adalah tidak memiliki keseimbangan antara teori dan raktik tersebut. Katakanlah model seperti itu, kita sebut dengan tidak menonjolkan keseimbangan berfikir secara sistematik. Seperti tanpa melakoni sikap selaras, sinergik, kritis, yang tidan selaras dan penuh kontra akan teori dan praktik.

Sehingga apa yang menjadi sedikit kekurangan pada bangsa kita yang selalu tunduk akan kedisiplinan hukum itu sendiri, menjadikan kita tak terkecuali rakyat indonesia, harus sadar bahwa ‘hukum’ bukanlah segala galanya ‘TUHAN’ di negara kita. Namun sangat pantas kita katakan keadilan. keadilan bahwa, ‘benar hukumlah jika itu salah dan benar bebaskan jika itu benar’ Karenanya jadikan hukum adalah setinggi tinggi ‘TUHAN’ yang maha adil di dunia.

Lihat juga : Peran Hukum Dalam Demokrasi

Membicarakan sejarah hukum pidana, tidak akan lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan saat ini. Beberapa kali periode mengalami masa penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum yang diberlakukan di negara ini, khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana mengatur agar munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan sebuah tata sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Untuk itu, mari sedikit kita membuka tabir singkat, dimana mengulas kembali sejarah singkat pemahaman awal, dan dilewatinya beberapa fase hukum pidana seperti ;

A. Masa Kerajaan Nusantara

Pada masa kerajaan Nusantara, banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius, sangatlah tepat. Karena di manapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.

Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana Islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu.

B. Masa Sebelum Penjajahan Belanda

Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang di mulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya di berlakukan di wilayah adat tertentu. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, bangsa Indonesia telah memberlakukan Hukum Pidana, pada masa itu atau tepatnya pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam hukum adat yang berlaku didalam masyarakat dan juga keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi iussangatlah tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat. dan Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat. Jadi pada masa itu bangsa Indonesia telah memberlakukan hukum Pidana Adat, Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.

Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran ajaran Hindu.

Disamping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana adat ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana diwilayah yang bersangkutan. Namun dibeberapa wilayah adat nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tertulis, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahja yang berisi hukum adat Sumatra Selatan dan Kitab Adigama yang berisi hukum adat Bali.

Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

C. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda

1. Masa Penjajahan

Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.

Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis menciptakan konsep peraturan hukum baku yang tertulis. Pada masa ini perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia). Berlaku dua peraturan hukum pidana yakni KUHP bagi orang eropa (weetboek voor de europeanen) yang berlaku sejak tahun 1867. Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang berlaku sejak tahun 1873.

2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda

a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie ( VOC ) Tahun 1602 – 1799

Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC. VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak Octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan mencetak uang. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.

Dalam perkembangannya, salah sseorang Gubernur Jendral VOC yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat. Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Papakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat.

Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara diduduki oleh Inggris dengan tidak mengadakan perubahan-perubahan dengan hukum yang sudah berlaku saat itu.

b. Masa Besluiten Regeling ( 1864 – 1855 )

Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai pengusa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regeling, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan. Dengan demikian negara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan Monarkhi Konstitusi. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.

c. Masa Regeling Regelment ( 1855 – 1926 )

Masa Regeling Regelment ( RR ) dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di Negara Belanda, dari monarkhi konstitusi menjadi monarkhi parlementer.perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja.

Maka dengan begitu kekuasaan Raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata di tetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-undangan ditingkat parlemen.

d. Masa Indische Staatregeling ( 1926 – 1942 )

Indische staatregeling ( IS ) adalah pembaharuan dari RR yang mulai berlaku sejak 1 januari 1926 dengan diundangkannya melalui staatblad Nomor 415 tahun 1925. Pada masa ini, sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam pasal 131 Jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda ( Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie ) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 Jo. Pasal 163 IS ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak di berlakukan 1 januari 1918.
3. Masa Sesudah Kedatangan Jepang ( 1942 – 1945 )

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku diwilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu.

Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasaan militer yang tidak saling membawahi.

D. Masa KUHP 1915 – Sekarang

Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda). Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan.

Lihat juga : Dasar Sistematika Filsafat Hukum

KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis. Desakan pembentukan segera KUHP nasional sebagai sebuah negara yang pernah dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku di Indonesia secara langsung dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku di negara penjajah tersebut. Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem hukum continental menurunkan betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang berlaku di Negara jajahan harus sama dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum pidana (straffrecht) merupakan salah satu produk hukum yang diwariskan oleh penjajah.

Pada tahun 1965 LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) memulai suatu usaha pembentukan KUHP baru. Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptakan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.

Masa pemberlakuan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi 4 masa sebagaimana sejarah dalam tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia yaitu pertama masa pasca kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945 kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (konstitusi RIS ) ketigamasa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950 ) dan keempatmasa Indonesia kembali kepada UUD 1945.

Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI adalah keturunan dari WvS Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. walaupun WvSNI merupakan turunan ( copy ) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi ( penyesuaian ) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di hapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.

Jika dirunut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koniklijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal ( kodifikasi hukum pidana ) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda. Namun demikian, Negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886, mulai di berlakukan Wetboek van Strafrechtsebagai pengganti Code Penal Napoleon.

Setelah perginya Prancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya ( code penal ) selama kurang lebih 68 tahun ( sampai tahun 1881 ). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami beberapa perubahan terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrechtsebagai penganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.

Sebelum Negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, diwilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa ) dengan Staatblad tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlender ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi ) dengan Staatblad tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1873.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg ( Minister van Kolonien ) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninlijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrech voor Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 januari 1918.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang Undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indiediubah menjadi Wetboek van Strafrechtdan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi Balantentara Hindia Belanda.

Oleh karena perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.

Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dapat diilustrasikan dalam bagan berikut :



E. USAHA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali ( reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif ( KUHP ), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.

Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu:
Pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang sekarang berlaku.

Menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk menggantikan KUHP yang sekarang berlaku yang merupakan warisan kolonial.

Secara singkat, sudah menjelaskan sedikit pemahaman sejarah hukum pidana yang tercerahkan di negara kita, negara indonesia. Sehingga apa yang menjadi analisa dan sampel pemahaman, bisa menjadi bekal analisa bagi beragam macam pemikir serta pelaku teori dan praktik hukum pidana indonesia. Walaupun sesingkat itu, Mempelajari sejarah harus juga diimbangi dengan berbagai praktik yang disebut secara praktis; harus juga menerawang berbagai macam bedah pasal hukum pidana di era modern, dimana secara tertulis dibentuk dan sudah disusun legal oleh lembaga yang terlibat, dalam hal ini lembaga hukum. Lembaga yang menuangkan atau mencatat pada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP sekaligus menerjemahkan berbagai bedah pasal pidana yang juga berkesinambungan pada pasal perpasal dengan poin perpoin, secara legal melalui Kitab Undang Undang Hukum Pidana/KUHP.

Pada KUHAP dan KUHP Sering kita pelajari, sertah mungkin banyak juga kita menemukan perdebatan dan perbedaan persepsi pemikiran. Dimana, sebagian analis hukum, mahasiswa hukum, bahkan para pengamat hukum, dan praktisi hukum pidana, tentang menentang diberbagi arena ketika bersua pada persoalan. Persoalan yang dimaksud, tidak lepas pada persoalan hukum pidana yang pada subtansinya adalah tidak lepas pada kejahatan yang sering menumbalkan manusia satu dan manusia yang lainnya. Sehingga kitab pidanalah menjadi tameng penerjemaan kekuasan disetiap perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat itu, kita luruskan pada ranah hukum ketika persoalan yang kita temukan adalah persoalan kejahantan yang jatuh dan tertuang sertah mengikat pada kejelasan pasal kitab undang undang hukum pidana tersebut. Namun, sudahkah kita membacanya? mungkin sudah. ataupun sudah tanpa ada kata ’mungkin’. Tetapi, sudahkah kita mengkajinya juga? Mungkin sudah. Bahkan juga bagi praktisi hukum sering tentang menentang terhadap kepekaan persoalan antara benar dan salah dihadapan hakim untuk membela cliennya saat persidangan. Tetapi apakah kita hanya seluas itu? Sekaliber itu? mari kita tafisr menafsirkan bahkan lebih berkembangnya jaman modern ini, pasti lebi berkembang juga ‘kejahatan’ yang sebagian sudah tercatat arti dan pelanggaran sertah hukumannya, juga ada sebagian ‘kejahatan’ yang sering terjadi dan kita lihat secara kasat mata, namun secara hukum pidana tidak atau belum terjemahkan dan tertuang pada KUHAP dan KUHP.

Lihat juga : Aliran Filsafat Hukum Kodrat

Untuk itu tidak secara anarkis, harusnya agar negara kita negara indonesia yang katannya tunduk pada aturan dan disiplin hukum tanpa diskriminasi, Nah. mari kita taat dan selalu belajar tentang hukum seperti yang dimaksud, mempelajari sejarah hukum pidana dan bedah pasal pada setiap perkembangan KUHAP dan KUHP yang direfisi secara legal oleh pemerintah dan lembaga hukum itu sendiri. Sedikit ajakan mempelajari hal tersebut, bukan menampakkan atau mengagungkan kebesaran diri kita, melainkan menerobos pengetahuan kita yang sering mandul tanpa sarat, dan melakukan syarat tanpa kebenaran dihadapan hukum.

Sehingga dengan syarat dan prasyarat tersebut, jadikan kedewasaan berfikir kita yang tidak ngambang antara kejahatan yang tertuang secara legalnya hukum pidana indonesia kita. Seperti yang dimaksud pada kitab undang undang hukum acara pidana dan kitab undang undang hukum pidana, yang menjelaskan secara teori dan praktik arti pidana dan kejahatan melalui sangsi sangsi hukuman, sebagi bekal pengetahuan hukum sejarah pidana dan pemahanan sistematika KUHAP dan KUHP antaralain yang sering berlaku di negara hukum indonesia;

1. Buku Kesatu: Aturan Umum

Aturan umum ini menjelaskan tentang bagaimana batas berlakunya aturan pidana dalam perundang undangan sesuai tertuang pada Bab KUHAP yang tersusun pada pasal dan poin tertentu antara lain ;

Bab I. Batas berlakunya aturan pidana dalam perundang undangan


Bab II. Pidana


Bab III. Hal hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana


Bab IV. Percobaan


Bab V. Pernyetaan dalam tindak pidana


Bab VI. Perbarengan tindak pidana


Bab VII. Mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan yang hanya dituntut atas pengajuan.


Bab VII. Hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana


Bab XI. Arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang undang

2. Buku Kedua: Kejahatan

Aturan ini menjelaskan beragam macam kejahatan yang tersusun, tertuang, sertah tertulis pada Bab di KUHP indonesia, antar lain menjelaskan kejahatan tentang;

Bab I. Kejahatan terhadap keamanan negara

Bab II. Kejahata terhadap martabat presiden dan wakil presiden

Bab III. Kejahatan kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara serta wakilnya.

Bab IV. Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan

Bab V. Kejahatan terhadap ketertiban umum

Bab VI. Kejahatan perkelahian tanding

Bab VII. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang

Bab VIII. Kejahatan terhadap penguasa umum

Bab IX. Kejahatan sumpah palsu dan keterangan palsu

Bab X. Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas

Bab XI. Kejahatan pemalsuan meterai dan merek

Bab XII. Pemalsuan surat

Bab XIII. Kejahatan terhadap asal usul dan perkawinan

Bab XIV. Kejahatan terhadap kesusilaan

Bab XV. Kejahatan meninggalkan orang yang perlu ditolong

Bab XVI. Kejahatan penghinaan

Bab XVII. Kejahatan membuka rahasia

Bab XVIII. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang lain

Bab XIX. Kejahatan terhadap nyawa

Bab XX. Kejahatan penganiayaan

Bab XXI. Kejahatan menyebabkan mati atau luka luka karena kealpaan

Bab XXII. Kejahatan pencurian

Bab XXIII. Kejahatan pemerasan dan pengancaman

Bab XXIV. Kejahatan penggelapan

Bab XXV. Kejahatan perbuatan curang

Bab XXVI. Kejahatan perbuatan merugiakan pemiutang atau orang yang mempunyai hak

Bab XXVII. Kejahatanmenghancurkan atau merusakkan barang

Bab XXVIII. Kejahatan jabatan

Bab XXIX. Kejahatan pelayaran

BabXXIX. A. Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan

Bab XXX. Kejahatan penadahan penerbitan dan percetakan

Bab XXXI. Aturan tentang pengulangan kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai bagai Bab.

3. Buku Ketiga; Pelanggaran

pelanggaran ini menjelaskan arti pelanggaran dari berbagai isi pasal dan hukuman pelanggaran yang dimaksud pada KUHAP dan KUHP Indonesia seperti berikut ;

Bab I. Tentang pelanggaran keamanan umumbagi orang atau barang dan kesehatan

Bab II. Pelanggaran ketertiban umum

Bab III. Pelanggaran terhadap penguasa umum.

Bab IV. Pelanggaran mengenai asal usul dan perkawinan

Bab V. Pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan

Bab VI. Pelanggaran kesusilaan

Bab VII. Pelanggaran mengenai tanah, tanaman, dan pekarangan

Bab VIII. Pelanggaran jabatan

Bab IX. Pelanggaran pelayaran.

Adapun dasar pemahaman sejarah dan dasar sistematika KUHP Indonesia yang dijelaskan diatas, sebagai syarat mengetahui pengkajian hukuman pidana bagi setiap orang yang melakukan atau melanggar pelanggaran. yang lebih jelas pada pasal yang terterah untuk menjerat kejahatan. Dan sebaiknya sebelum kita mempelajari lebi dalam tentang analisis kasus mengenai pasal apa dan kejahatan apa, serta pelanggaran apa yang disanggahkan, ada baiknya kita lebih awal mempelajari secara sistematika isi Bab yang dimaksud pada kitab tersebut dengan poin yang dijelaskan. Sehingga apa yang menjadi dasar perdebatan dan persoalan dihadapan hukum, menjadi psikoanalitik ketertiban pemahaman hukum pidana yang selalu membawa kebenaran korban dan pelaku kejahatan di pengadilan.

Kejahatan pada waktu tertentu tidak dimungkinkan akan mendatangkan kita pada setiap nafas dan langkah manusia, untuk itu dengan ketentuan diatas dikuatkan oleh persatuan persepsi dan padanagan hukum melalui legalitas pengesahan lebaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Segingga dari pada itu, Bab diatas menjelaskan isi pasal undang undang hukum pidana dan hukum acara pidana indonesia yang tertuang dan dijelaskan secara rinci pada ketentuan perundang undangan yaitu, undang undang nomor 8 tahun 1981 yang tertuang tentang hukum acara pidana dan tercantum juga penjelasan atas undang undang tersebut. Serta peraturan pemerintah republik indonesia nomor 27 tahun 1983, tentang penjelasan dan pelaksanaan KUHAP. Juga di susul dengan surat putusan mahkamah konstitusi nomor 6/PUU.V/2007, dimana dalam surat keputusan tersebut menjelaskan dan atau memutuskan tentang perubahan pasal 154 dan 156 dalam KUHP indonesia.

(Baca Juga Tulisan Tri Saleh : Selembar Duka)

Oleh : Tri Saleh

Posting Komentar untuk "Sejarah dan Mempelajari Sistem KUHP Indonesia"